Oleh: Asmaran Dani
Siapa yang sebenarnya diuntungkan dari wajah kota yang rapi dan bersih? Apakah benar proyek revitalisasi hadir demi warga miskin kota? Atau justru ruang hidup mereka dipersempit, lalu diambil alih atas nama estetika?
Pertanyaan itu layak diajukan di Palembang, kota tua yang kini sibuk mempercantik diri lewat proyek revitalisasi. Salah satu yang disasar adalah kawasan rumah susun Bukit Kecil. Sejak 2006, pemerintah kota mewacanakan peremajaan kawasan padat ini dengan dalih memperbaiki lingkungan dan wajah kota.
Namun di balik proyek itu tersembunyi ancaman: pengusiran pelan-pelan. Hingga kini tak ada jaminan relokasi permanen bagi penghuni lama. Warga hanya ditawari rusun sewa di pinggiran kota tanpa kejelasan bisa kembali ke lokasi semula.
Gentrifikasi Berkedok Revitalisasi
Dalam kajian perkotaan, praktik ini dikenal sebagai gentrifikasi. Kawasan yang dianggap kumuh dibersihkan, warganya dipindahkan, lalu lahannya dibangun ulang untuk kelas menengah ke atas. Di Jakarta, hal serupa terjadi di Kampung Pulo. Di Bandung di Tamansari. Di Surabaya di bantaran rel.
Palembang tak jauh berbeda. Revitalisasi rusun dapat menjadi pintu masuk gentrifikasi karena letaknya strategis, hanya beberapa ratus meter dari Palembang Indah Mall dan pusat bisnis 26 Ilir. Nilai lahannya sangat tinggi. Wajar jika revitalisasi cenderung berpihak pada kepentingan ekonomi.
Penelitian Yuliani (2019) menyebut, permukiman kumuh di pusat kota seperti Bukit Kecil memang sering diprioritaskan untuk ditata demi mendukung aktivitas bisnis di sekitarnya. Alih-alih menyejahterakan warga, proyek semacam ini justru menyingkirkan mereka.
Perlawanan Sunyi Warga
Meski tak turun ke jalan, warga Rusun Bukit Kecil tak tinggal diam. Berdasarkan riset lapangan saya sepanjang 2023–2024 di kawasan rusun Bukit Kecil, perlawanan mereka berbentuk sederhana: menolak hadir di sosialisasi, menyebarkan kabar penolakan sesama penghuni rusun, mendirikan bangunan liar, tidak peduli terhadap kegiatan kriminal, dan juga sengaja membiarkan kawasan tetap kumuh.
Dalam teori everyday resistance James C. Scott, perlawanan kecil semacam ini penting. Ia jadi cara warga miskin kota mempertahankan ruang hidupnya di tengah tekanan kekuasaan dan stigma.
Celakanya, upaya bertahan warga kerap diputarbalikkan. Media lokal dan pejabat kerap menyebut Rusun sebagai sarang narkoba dan kriminal. Stigma ini dibangun untuk membenarkan proyek revitalisasi.
Padahal penelitian Oktarini et al. (2022) menemukan, mayoritas penghuni permukiman kumuh di tepian Sungai Musi, termasuk Bukit Kecil, justru bekerja di sektor informal legal seperti pedagang kaki lima, buruh harian, dan jasa.
Angka Tak Menampakkan Luka
Menurut Disperkimtan Palembang (2023), kawasan kumuh di kota ini berkurang dari 1.092 hektare (2022) menjadi 900 hektare. Pemkot pun menargetkan nol kawasan kumuh pada 2030. Namun laporan Akurat Sumsel (2025) menyebut, hingga awal tahun ini masih ada 1.990 unit rumah tak layak huni yang belum disentuh program.
Yang luput dari laporan itu: berapa warga miskin kota yang tergusur akibat revitalisasi rusun. Tak ada data resmi soal itu. Mereka invisibel dalam peta pembangunan.
Di banyak kota berkembang, revitalisasi permukiman miskin sering jadi kedok penggusuran. Di Brasil, jelang Piala Dunia 2014, ribuan warga miskin dipaksa pergi ke pinggiran kota demi stadion dan hotel mewah di pusat kota.
Di Palembang, gejala itu mulai tampak. Beberapa kawasan kumuh yang strategis kini berubah jadi area komersial. Penelitian Apriliani et al. (2022) juga menyebut, faktor ekonomi kawasan jadi pendorong utama relokasi paksa di Tuan Kentang, kawasan permukiman miskin lain yang jaraknya hanya sepelemparan batu dari Bukit Kecil.
Kota Bukan Hanya untuk Mereka yang Kuat
Pertanyaan mendasarnya: kota ini untuk siapa? Apakah hanya untuk mereka yang mampu beli apartemen dan makan di restoran rooftop? Atau juga untuk buruh pasar, tukang ojek, pedagang asongan, dan penjaja sayur yang selama ini menghidupi denyut ekonomi kota?
Kota mestinya ruang hidup bersama. Bukan sekadar deretan gedung dan taman cantik. Tapi ruang di mana siapa pun bisa tinggal, bekerja, dan menikmati fasilitas kota.
Jika pemerintah serius ingin membangun kota untuk semua tanpa antagonis terhadap masyarakat arus bawah, revitalisasi rusun harus dilakukan dengan partisipasi penuh warga. Hak tinggal penghuni lama wajib dijamin. Relokasi tak boleh sepihak. Dan manfaat pembangunan harus dibagi adil.
Tanpa itu, revitalisasi hanya akan jadi wajah baru gentrifikasi. Sejarah kota-kota besar sudah terlalu sering mencatat, di balik gedung-gedung megah ada luka sosial yang terus diabaikan. Palembang tak perlu mengulang cerita itu.
Tiga Syarat Revitalisasi yang Adil
Agar revitalisasi tak menjadi alat gentrifikasi, setidaknya ada tiga hal yang harus dijalankan pemerintah kota. Pertama, memastikan partisipasi penuh warga sejak tahap perencanaan.
Sosialisasi sepihak yang hanya bersifat informatif harus diganti dengan forum musyawarah yang benar-benar melibatkan suara warga. Kedua, memberikan jaminan tertulis atas hak kembali bagi penghuni lama. Kontrak sewa jangka panjang atau skema kepemilikan bertahap bisa menjadi opsi. Ketiga, mengintegrasikan program perbaikan infrastruktur dengan perlindungan ekonomi warga, seperti menyediakan lapak dagang, dan pelatihan kerja.
Jika ketiga hal ini diterapkan secara konsisten, revitalisasi tak harus berarti penggusuran. Kota bisa dibenahi tanpa harus mengorbankan kelompok rentan. Dengan kata lain, pembangunan yang berpihak bukan utopia—ia hanya butuh keberpihakan politik dan keberanian merombak cara pandang terhadap siapa yang layak tinggal di pusat kota.
(Artikel ini disampaikan dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Komunitas Mode Pesawat di Palembang 14 Juni 2025 sebagai bagian dari rangkaian Festival Bulan Juni 2025).