Petisi Keadilan Agraria

Surat Terbuka

Forum Indonesia untuk Keadilan Agraria

Kepada Presiden Republik Indonesia

Untuk Penyelesaian Konflik Agraria

 

Bapak Presiden yang kami hormati,

Setelah mengikuti dengan saksama perkembangan yang terjadi akhir-akhir ini terkait dengan konflik agraria di berbagai wilayah kepulauan Indonesia, maka kami sebagai pengajar, peneliti dan pemerhati studi agraria di Indonesia yang bergabung dalam Forum Indonesia untuk Keadilan Agraria, menyatakan keprihatinan yang mendalam. Berdasarkan kajian, pengalaman dan pengamatan kami terhadap persoalan agraria, kami sampaikan pendapat dan usulan kepada Bapak, sebagaimana butir-butir di bawah ini.

Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 menyatakan tujuan pembentukan Pemerintahan Negara Indonesia antara lain adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Berdasarkan tujuan tersebut implementasi Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara. Penguasaan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat baik untuk generasi saat ini maupun masa mendatang yang harus dimaknai ke dalam empat prinsip: (i) kemanfaatan dan pemerataan sumberdaya alam bagi rakyat; (ii) perlindungan atas hak azasi manusia; (iii) partisipasi rakyat dalam menentukan akses, alokasi dan distribusi sumberdaya alam, serta; (iv) penghormatan terhadap hak rakyat secara turun-temurun dalam memanfaatkan sumberdaya alam.

Fungsi legislasi, regulasi, perencanaan, dan alokasi pemanfaatan serta pengendalian pemanfaatan ruang dan penguasaan tanah dan sumberdaya alam oleh negara harus berlandaskan pada mandat yang diberikan oleh UUD 1945 yang sudah ditetapkan pada angka 1 yaitu untuk sebesar-besarnya perlindungan terhadap hak-hak bangsa Indonesia, termasuk kelompok masyarakat rentan, yakni masyarakat hukum adat, golongan miskin, perempuan, petani dan nelayan.

Pembangunan ekonomi yang sehat memerlukan penataan penguasaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam yang adil dan berkelanjutan sebagai basis penguatan ekonomi rakyat. Demikian pula diperlukan partisipasi masyarakat secara hakiki. Untuk mencapai hal tersebut, diperlukan kemauan politik yang sungguh-sungguh dan konsisten serta jaminan perlindungan hukum yang nyata terhadap kelompok masyarakat rentan, utamanya masyarakat tak bertanah (tunakisma) dan tidak memiliki akses terhadap tanah dan sumberdaya alam.

Reformasi hukum dan kebijakan yang komprehensif yang mengacu pada prinsip-prinsip pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam belum dilaksanakan. Empat hal mengindikasikan situasi ini: i) adanya beberapa ketentuan dalam undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945; (ii) adanya ketidak-harmonisan dan ketidak-sinkronan diantara peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang sumberdaya alam dan lingkungan hidup; iii) adanya ketidak-sinkronan antara peraturan perundangan-undangan sumberdaya alam dan lingkungan dengan peraturan yang mendukung percepatan pertumbuhan ekonomi; iv) banyaknya peraturan daerah yang bersifat eksploitatif dan bermotif kepentingan jangka pendek. Sebagai akibatnya, keberlanjutan pembangunan Indonesia terancam. Bencana lingkungan dan degradasi sumber daya alam meluas ke berbagai wilayah Indonesia.

Kebijakan dan praktik penerbitan izin, khususnya bagi usaha skala besar, yang ada selama ini – di satu pihak — belum mengindahkan prinsip hukum dan tata kelola yang baik, sarat korupsi, melampaui daya dukung lingkungan, tidak mengakui hak-hak dan membatasi akses kelompok masyarakat rentan utamanya mereka yang tidak bertanah (tunakisma). Di lain pihak, terdapat konsentrasi penguasaan tanah pada segelintir orang/badan hukum yang mengakibatkan lebarnya kesenjangan penguasaan dan pemilikan tanah. Demikian pula terdapat sejumlah perjanjian investasi dan perdagangan bilateral dan multilateral yang berseberangan dengan semangat keberlanjutan sosial dan lingkungan hidup.

Masalah-masalah pada angka 4 dan 5 tersebut menjadi penyebab muncul, bereskalasi dan tidak terselesaikannya konflik agraria serta tidak diatasinya kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Penyelesaian konflik lebih mengedepankan penyelesaian legal formal dengan mengabaikan keadilan substantif. Akibatnya, konflik agraria justru semakin meningkat. Sebagai gambaran, Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI menyatakan ada sekitar 8.000 konflik pertanahan yang belum terselesaikan. Sawit Watch menyebutkan adanya sekitar 660 konflik di perkebunan kelapa sawit dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menyebut konflik agraria di sektor perikanan sepanjang 2012 melibatkan sedikitnya 60 ribu nelayan. Sementara Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menemukan sekitar 1.700 konflik agraria, mencakup kasus-kasus perkebunan, kehutanan dan pertambangan. Khusus di tahun 2012, KPA mencatat 156 petani ditahan tanpa proses hukum yang benar, 55 orang terluka dan dianiaya, 25 petani tertembak dan 3 orang tewas akibat konflik agraria.

Konflik agraria semakin tidak terdeteksi secara dini karena belum optimalnya penanganan pengaduan konflik. Di samping itu, konflik bereskalasi karena tindak kekerasan yang diduga dilakukan oleh aparat keamanan yang seharusnya berdiri di atas semua pihak, tetapi pada umumnya justru melindungi kepentingan pemodal dengan cara yang patut diduga bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan besar untuk menguasai tanah/sumber daya alam yang diklaim oleh masyarakat hukum adat atau masyarakat lokal lain.

Pembangunan Indonesia yang berprinsip pada keseimbangan pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, kesetaraan, dan pelestarian fungsi lingkungan tidak akan mencapai tujuannya jika konflik agraria tidak diselesaikan atau diselesaikan hanya dengan cara represif. Untuk mendukung hal tersebut diperlukan kemauan politik yang kuat, sungguh-sungguh, konsisten, progresif, dan memberikan perlindungan kepada kelompok rentan; disertai implementasi kebijakan yang tepat dengan dukungan akademisi, masyarakat madani, dan aparat keamanan.
Terkait dengan butir-butir pandangan di atas, kami mengusulkan kepada Bapak Presiden hal-hal berikut.

Melaksanakan seluruh arah kebijakan dan mandat Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam secara konsisten dan memantau pelaksanaannya secara transparan, berkelanjutan dan akuntabel dengan membentuk jaringan pemantau antar pemangku kepentingan.
Mengupayakan penyelesaian konflik agraria secara berkesinambungan, intensif dan terkoordinasi dengan cara:

Membentuk lembaga independen dengan tugas:

a.  Mendaftar, mengadministrasikan dan memverifikasi kasus-kasus konflik agraria yang diadukan oleh kelompok masyarakat secara kolektif;

b.  Melakukan audit atas ijin-ijin pemanfaatan tanah dan sumberdaya alam yang diberikan Kementerian, Lembaga dan Pemerintah Daerah yang menimbulkan konflik-konflik agraria;

c.  Membuat dan menyampaikan rekomendasi penyelesaian kasus-kasus konflik agraria tersebut kepada para pihak yang terlibat di dalam konflik.

d.  Memfasilitasi penyelesaian konflik melalui mediasi, negosiasi dan arbitrasi;

e.  Melakukan sosialisasi, koordinasi dan kerjasama dengan kementerian dan lembaga pemerintah non-Kementerian.

Mendorong Kepala Pemerintah Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota untuk:

a.  Identifikasi dan inventarisasi konflik-konflik yang sedang berlangsung serta deteksi dini potensi konflik pengelolaan sumberdaya alam;

b.  Fasilitasi proses-proses penyelesaian konflik agraria yang berlangsung di daerah masing-masing;

c.  Identifikasi dan verifikasi masyarakat hukum adat dalam rangka pengakuan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat.

Merevisi Instruksi Presiden (Inpres) No.2 Tahun 2013 tentang Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri karena: (i) Inpres ini lebih fokus pada penyelesaian konflik yang timbul di permukaan melalui pendekatan keamanan tetapi tidak mengupayakan tindakan korektif terhadap akar konfliknya; (ii) Inpres ini tidak dapat digunakan untuk menyelesaikan konflik agraria karena tidak melibatkan menteri-menteri terkait dengan pengelolaan sumber daya alam.

Memerintahkan Kapolri dan Panglima TNI untuk:

a.  Mengusut tuntas tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat Polri/TNI terhadap masyarakat dan aktivis LSM terkait dengan konflik-konflik agraria;

b. Menghentikan penggunaan cara-cara kekerasan oleh aparat; dan

c.  Membebaskan aktivis LSM warga masyarakat hukum adat, petani dan nelayan yang saat ini ditangkap dan ditahan oleh aparat kepolisian.

Menugaskan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk memimpin pengkajian ulang terhadap seluruh peraturan perundang-undangan di bidang agraria dan pengelolaan sumberdaya alam yang tumpang tindih dan bertentangan satu sama lain, dengan melibatkan akademisi dan masyarakat madani. Pengkajian ulang dilakukan berlandaskan prinsip-prinsip Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. Dalam rangka pengkajian ulang perlu diterbitkan Peraturan Presiden sebagai landasan moratorium penyusunan peraturan perundangan-undangan di bidang agraria dan sumberdaya alam. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia mengkoordinasikan revisi peraturan perundang-undangan yang dimaksud.

Menugaskan kepada Pimpinan kementerian terkait dengan sumberdaya agraria dan Badan Pertanahan Nasional untuk:

a.  Melakukan moratorium pemberian ijin pemanfaatan sumberdaya alam atau hak atas tanah selama dilakukan audit oleh lembaga independen;

b. Mengembangkan dan melaksanakan kebijakan yang dapat mencegah dampak negatif terhadap lingkungan hidup dan konflik agraria;

c.  Melaksanakan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Mendorong Kementerian terkait dan Badan Pertanahan Nasional untuk:

a.  Mendukung percepatan pembentukan Undang-Undang yang mengatur tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat;

b. Mendukung Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota melakukan proses identifikasi dan verifikasi keberadaan masyarakat hukum adat.

c.  Menugaskan kepada Menteri Kehutanan untuk segera menyelesaikan konflik pada desa-desa di dalam, berbatasan dan sekitar kawasan hutan.

d.  Membentuk kementerian yang bertanggung jawab mengkoordinasikan kebijakan dan implementasi kebijakan di bidang pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup.

Jakarta 7 Februari 2013

Forum Indonesia untuk Keadilan Agraria