Palembang-Spora, Kebijakan neoliberal telah menciptakan gelombang investasi dan modal secara besar-besaran pada sektor pertanian dan sumberdaya alam di sebagian besar negara, baik belahan utara maupun selatan, termasuk Indonesia. Kebijakan ini telah mengakibatkan konflik berkepanjangan antara korporasi multinasional dengan petani dan masyarakat pedesaan.
Masing-masing pihak mewakili kepentingan yang berbeda, baik model ekonomi maupun cara hidup. Korporasi besar ini memiliki model sentralistik dari sistem produksi, pengolahan, distribusi dan pembiayaan yang terlepas dari ekologi lokal dan sistem sosial. Kepentingannya hanya satu untuk akumulasi dan ekspansi modal melalui eksploitasi sumberdaya alam dan kelas pekerja. Sementara itu model pertanian keluarga menjunjung tinggi kearifan ekologi, terdesentralisasi dalam hubungan sosial yang terkait antara aspek produksi, distribusi dan konsumsi, semuanya untuk keberlanjutan penghidupan. Petani menandai hal ini dengan praktik agroekologi sebagai perebutan ruang kuasa pengetahuan dan menata ulang wilayah yang telah gersang oleh sistem pertanian korporasi.
Divisi Pendidikan Spora Institute membuka diskursus agroekologi sebagai rangkaian refleksi Hari Bumi 2021 yang diselenggarakan di Sekretariat Spora Institute, Jl. Lettu Roni Belut No. 028 Palembang, dengan narsumber Hajar Asywadi dan dimoderatori oleh Irfan.
“Agroekologi sebagai narasi progresif perlu dikedepankan saat memperingati Hari Bumi. Keberlangsungan bumi sendiri salah-satunya ada di barisan kelompok petani. Maka ketika memperingati Hari Bumi, agenda yang dapat dilakukan adalah memperjuangkan kedaulatan petani dalam mengakses sistem ilmu pengetahuan pertanian yang emansipatoris. Ilmu Agroekologi merupakan alternatif yang dapat menjadi role model menuju kedaulatan juga kemakmuran bagi petani.” Tegas pemuda yang akrab disapa Hajar tersebut, Sabtu (24/4/2021).
Banyak faktor penyebab kerusakan lingkungan yang menggerogoti bumi, karena itu Spora Institute mengajak peserta merawat bumi melalui pendekatan berkebun. Menolak aktivitas pertanian menggunakan bahan baku kimia serta alat-alat pertanian yang tidak bersahabat dengan alam. Sebagian Petani telah telah terlanjur menggunakan bahan baku kimia dan alat pertanian yang serba canggih untuk bermimpi mendapatkan output produksi (penghasilan) setinggi-tingginya.
Permasalahannya, ketika petani telah menerapkan pertanian menggunakan bahan baku kimia juga telah mempraktikkan alat pertanian berteknologi tinggi. Patut dipertanyakan lagi, siapa pihak yang mendapatkan akumulasi dahsyat dalam hitungan sepersekian detik? Mengapa kemiskinan dan penderitaan tetap menghantui keluarga petani? Perlu dilakukan kajian lebih mendalam dan spesifik. Maka tidak aneh kalau memperingati Hari Bumi, salah-satunya dengan memperjuangkan kedaulatan petani itu sendiri. Oleh sebab kedaulatan petani merupakan air mata bumi yang masih menangis darah menyaksikan petani hidup dalam kemiskinan dan penderitaan.
Kemiskinan dan penderitaan petani masih tetap berlanjut, tanah juga akhirnya turut ikut menderita karena terus dipaksakan memakan produk-produk kimia melalui aktivitas pertanian yang konvensional. Kerusakan ekologis khususnya degradasi tanah pasti terjadi. Petani harus diberikan pemahaman dengan cara yang juga tidak serta-merta menceramahi petani itu sendiri, seolah tugas besar merawat bumi hanya menjadi tugas petani. Tidak! Bukan seperti itu. Kesadaran harus dimiliki oleh semua pihak, merawat bumi adalah tugas manusia sepanjang sejarah kemanusiaan.
Semua pihak harus menyadari agar memahami dampak jangka panjang dari aktivitas perkebunan yang konvensional. Petani juga harus diberikan akses menuju sumber ilmu pengetahuan guna mencapai kedaulatan dan kemakmuran kelompok petani, sehingga mewujudkan kesejahteraan kelompok para petani tidak menjadi retorika omong kosong alias cuap-cuap belaka.
Ketika petani menerapkan pertanian konvensional, keuntungan sebesar-besarnya malah menjadi buntung besar. Oleh sebab petani terjerembab ke dalam lingkaran yang telah dimonopoli oleh pihak kapitalis. Untuk mendapatkan pupuk, petani terkadang harus berutang dahulu. Utang yang harus dibayar dengan bunga yang tinggi. Petani juga terjebak di pusaran kartel ekonomi-politik yang buas dengan pembelian alat-alat pertanian, yang akhirnya mereka juga harus memikul beban mencicil pembiayaan alat-alat pertanian yang juga tentu ada bunganya. Belum lagi kalau petani itu tidak punya lahan ya, hanya menjadi buruh bekerja untuk tuan pemilik modal.
Agroekologi mencoba menjawab permasalahan yang dialami petani. Mengajak barisan petani agar mampu keluar dari belenggu kaum pemodal yang menghisap dan menindas. Petani harus bertumpu pada keyakinan, bahwa aktivitas berkebun tidaklah harus menggunakan biaya mahal. Menerapkan pertanian organik dengan ilmu Agroekologi merupakan solusi yang bisa dipraktikkan oleh semua petani yang ingin lepas dari jeratan setan kartel ekonomi-politik yang sungguh ganas dan buas itu.
Di dalam forum kegiatan yang sedang berjalan, secara garis besar Spora Institute dan peserta berpendapat. Belatung kemiskinan dan penderitaan yang masih merayapi kehidupan petani dikarenakan masih lemahnya akses petani memperoleh sistem pengetahuan yang komprehensif mengenai ilmu pertanian itu sendiri. Sehingga petani dengan mudah hanya dijadikan target objek sebagai pengguna produk-produk bahan baku kimia yang didistribusikan oleh pihak kapitalis, mesti setia pada sistem pengetahuan yang telah diciptakan oleh pihak korporasi.
Harapan juga disampaikan oleh Andri peserta berprofesi sebagai dosen di salah-satu kampus swasta di Palembang. Spora Institute harus mengambil peran yang tidak biasa pada momen hari-hari besar lingkungan, contoh seperti Hari Bumi ini. Menyuarakan kedaulatan petani dengan pendekatan Agroekologi merupakan momen yang pas bila disandingkan dengan Hari Bumi, mengambil konsentrasi Agroekologi untuk menuju kedaulatan petani.
“Saya sangat beruntung bisa menghadiri kegiatan yang dilakukan oleh kawan-kawan Spora Institute. Saya mengapresiasi kegiatan ini. Konsentrasi Agroekologi membuat saya tertarik untuk menghadiri kegiatan ini. Merefleksikan Agroekologi sebagai cinta kasih Kepada bumi ya, harus sampai geliatnya ke barisan petani itu sendiri. Karena petani masih sangat rentan di pusaran kemiskinan dan penderitaan yang tersistematis secara kebijakan ekonomi-politik. Semoga Spora Institute konsisten dalam mewujudkan serangkaian isu Agroekologi dan memperjuangkan kedaulatan petani.” Ucap Andry mengenakan kemeja kotak-kotak berwarna hitam abu-abu, Sabtu (24/4/2021).
Kegiatan yang dilaksanakan oleh Spora Institute juga tidak hanya membahas bencana tragedi ekonomi-politik yang dihadapi petani dalam tantangan mewujudkan kedaulatan, kesejahteraan, dan kemakmuran. Spora Institute juga mengajak peserta langsung agar peka berdialog dengan alam, berkebun tanpa menggunakan bahan baku kimia.
Spora Institute mengajak para peserta memperingati Hari Bumi dengan pendekatan Agroekologi Sebagai Cinta Kasih Kepada Bumi: semangat berkebun tanpa bahan baku kimia dan menolak instrumen pertanian yang berdampak pada kerusakan ekosistem tanah.
Spora Institute berbagi materi sekaligus melakukan demonstrasi yang dipandu oleh Rahmat selaku Divisi Agroekologi di Spora Institute. Rahmat langsung mempraktikkan di hadapan peserta cara pembuatan pupuk kompos alami, pestisida alami, pembibitan yang alami. Tentu yang paling penting, membuat media tanam bedengan kebun yang efisien. Semua yang dipraktikkan di dalam kegiatan tersebut dapat memantik imajinasi peserta dalam mengelola atau memanfaatkan space kosong di halaman rumah dengan semangat berkebun yang alami. Singkatnya mengaplikasikan Agroekologi dimulai dari halaman rumah sendiri.
“Cinta kasih Kepada Bumi dapat diwujudkan dengan cara yang sederhana namun menggali makna terdalam dari Hari Bumi itu sendiri. Tidak hanya merefleksikan perayaan Hari Bumi saja seperti menanam bibit pohon atau berkebun. Sudah saatnya memperingati Hari Bumi dengan semangat perjuangan. Menggarap kegiatan alternatif yang militan dengan mengedepankan isu kedaulatan petani. Oleh sebab petani terkoneksi langsung dengan keberlangsungan bumi itu sendiri. Petani adalah urat nadi bagi bumi.” Irfan penggiat komunitas literasi di Rumah Buku Cikep menutup acara dengan lugas mengingat sore yang semakin mengintip.