Membangun Regionalisme yang Berdaulat, Bongkar dan Lawan Dominasi Kapitalisme Global
Kami, rakyat Indonesia, yang terwakili dalam organisasi petani, buruh, nelayan, masyarakat adat, perempuan, mahasiswa, buruh migran, miskin kota, lingkungan, konsumen, penggerak Hak Asasi Manusia (HAM), berkumpul di Denpasar, Bali pada 16-18 November 2011. Kami mengadakan serial aksi untuk mengekspresikan kekhawatiran kami terhadap Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) yang juga sedang mengadakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) di Bali.
ASEAN telah menjadi ajang eksploitasi, pemburuan keuntungan lewat pasar bebas, serta pengerukan kekayaan alam di negara lemah (ekonomi dan politik persatuannya). Seluruh aktivitas pengerukan ini, dengan campur tangan elit—kian menjadi pekerjaan resmi dan mengglobal. Dengan keterkaitan historis yang erat dengan AS dan sekutunya, ASEAN terus menjadi alat untuk menjalankan agenda mereka beserta para penguasa modal.
ASEAN telah gagal memberi perlindungan dan memenuhi dan melindungi HAM. Saat ini dunia tengah menghadapi krisis finansial, pangan, energi, dan lingkungan. Dari krisis inilah perusahaan transnasional, pemodal besar dan spekulan pasar terus mengeruk keuntungan dan mendapatkan dana talangan dari pemerintah. Sementara itu, rakyat dibiarkan jatuh dalam pengangguran, kemiskinan, dan kesulitan mengakses hak-hak dasar untuk penghidupan yang layak. Kekerasan, intimidasi dan kriminalisasi terhadap petani, buruh dan masyarakat adat terus dilakukan sebagai langkah mempermudah pengambilalihan tanah dan sumber-sumber agraria, serta cara penyelesaian konflik, sengketa dan tuntutan rakyat terhadap ketidakadilan dan kesejahteraannya. Di Indonesia, hanya 0.05 persen dari total populasi (sekitar 115 ribu orang) terkaya yang menikmati keuntungan dari sistem ini. Sementara 235 juta jiwa lain dikorbankan, terutama kaum miskin—terutama perempuan dan anak-anak.
Di Indonesia, kekuatan modal dan korporasi telah menguasai aparatus negara, membebani mereka dengan kewajiban, yang oleh mereka dijatuhkan di atas pundak rakyat. Mereka serakah dan kejam, mendominasi tata kelola bumi, air dan kekayaan alam di Asia Tenggara.
Imperialisme menemukan wujudnya di ASEAN, dengan empat hal yang menjadi musuh utama rakyat. Pertama, Indonesia menjadi negeri pemasok sumber daya alam; kedua, Indonesia menjadi negeri pemasok kebutuhan industri Eropa, AS, Jepang dan lainnya; ketiga, Indonesia menjadi pasar penjualan barang-barang hasil dari macam-macam industri asing; dan keempat, Indonesia menjadi lapang usaha bagi modal yang hingga tak dapat dihitung besarnya. Bukan saja modal Amerika Serikat, juga modal dari Singapura, Jepang, China dan lainnya yang hari ini mengalami surplus kapital berlebih. Kelima, Indonesia dibuat menjadi penyedia buruh murah.
Korporasi-korporasi tambang asal Amerika Serikat, Eropa, Thailand dan sejumlah negara lainnya mengeruk kekayaan alam Indonesia, bahkan menelusuri minyak dan gas hingga ke dasar lautan. Hingga Oktober 2011, tercatat sebanyak 42 pulau di Indonesia teridentifikasi telah, sedang dan akan mendapat ancaman bencana karena aktivitas pertambangan. Lagi-lagi rakyat yang menanggung bebannya: pencemaran dan musnahnya sumber penghidupan. Setidaknya 23 juta hektar laut Indonesia dibiarkan tercemar dan pemerintah tidak berupaya serius untuk menghentikannya.
Dalam konteks perikanan, hingga April 2011, dari 79 produk perikanan yang diimpor, sebanyak 40 di antaranya adalah produk perikanan yang dapat ditemukan di Indonesia. Akibatnya, serangan produk impor pangan perikanan telah berdampak langsung terhadap keterpurukan ekonomi keluarga nelayan, maupun memburuknya kualitas pangan perikanan bagi konsumen domestik.
Imperialisme di kawasan Asia Tenggara makin menghebat, makin lama makin bertambah tangan, kepala dan kakinya. ASEAN tidak hanya aktif saling mengeruk kekayaan rakyatnya, juga mengajak negara imperialis lain untuk ikut menghabisi. Belum lagi campur tangan Lembaga Keuangan Internasional (LKI) (Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, Dana Moneter Internasional dan lainnya) yang berkedok bantuan pembangunan di berbagai sektor. Lewat skema utang program dan utang proyek, lembaga-lembaga ini menyetir habis-habisan arah kebijakan nasional di banyak negara. Hal ini hanya akan menguntungkan korporasi sementara kedaulatan rakyat semakin terancam. Intervensi LKI ini makin nyata terlihat dari bermacam kebijakan-kebijakan strategis yang bertujuan mengamankan investasi dan cengkraman korporasi di negara-negara ASEAN.
Secara khusus, dimulainya kesepakatan Kemitraan Ekonomi ASEAN dengan Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa pada KTT ASEAN ke-19 ini berpotensi menjadikan Indonesia sebagai pengekspor bahan mentah (CPO, kopi, teh dan coklat) sehingga perekonomian dan industrinya tak kunjung berkembang. Padahal, di sektor pertanian dan pangan, banjir impor produk hortikultura telah merusak pasar dan harga lokal serta membuat pertanian di pedesaan tidak atraktif dari segi ekonomi.
Tidak hanya krisis pangan, Indonesia bahkan terseret oleh krisis air. Saat ini sumber-sumber air bersih sudah dikuasai perusahaan-perusahaan asing dari Eropa (Suez, Nestle, Danone, Coca Cola/Ades). Liberalisasi dari proyek pinjaman air Water Resources Sector Adjustment Loan (WATSAL) dari Bank Dunia mengakibatkan pengelolaan air bisa diprivatisasi.
Hadirnya sejumlah kesepakatan perdagangan bebas dan investasi, dibarengi dengan praktik kebijakan propasar, yang aturannya berlaku di kawasan, juga berlaku di Indonesia. Ini adalah bencana umum! Konsekuensi diberlakukannya kesepakatan perdagangan bebas adalah terjadinya flexible labour market atau pasar buruh yang fleksibel dan praktik pemberangusan serikat buruh (union busting) dimana hak-hak asasi pekerja tidak terpenuhi.
Dari sisi keamanan, kawasan ASEAN dan Asia Timur memiliki peran yang signifikan terhadap dunia—terutama di tengah krisis kapitalisme global dan upaya penyelamatannya. Karenanya AS memastikan Jepang, Cina dan Korea Selatan tetap menjadi subordinasi dalam skema dominasi dengan melakukan intervensi ekonomi, politik, kebudayaan dan militer.
Secara khusus AS juga membangun skema militer dalam rangka memastikan keamanan investasi, terbukti dari kedudukan pangakalan militer AS di kawasan Asia Tenggara (Singapura dan Thailand), termasuk pendirian pangkalan di Darwin, Australia. Dalam perkembangan sekarang AS menempatkan 70.000 personel tentara di wilayah Asia Timur dan sekitar 100.000 personel di bawah Komando Pasifik (termasuk Asia Tenggara) USAPCOM yang bermarkas besar di Honolulu, Hawaii. Daya rusak dan penghisapan dari blok kapitalis monopoli, di bawah pimpinan AS, telah menghasilkan perlawanan rakyat di berbagai negeri dalam kawasan. Guna mengatasinya, AS melalui kaki tangannya, pemerintahan komprador menjalankan strategi umum komprehensif yang bernama COIN (counterinsurgency) yang dirilis oleh pemerintahan AS pada tahun 2009. Skema ini memadukan aspek tindakan sipil dan militer dalam berbagai macam bentuknya—dan sangat mengancam kedaulatan rakyat di kawasan.
Dengan karakter tertutup dan gugup berdemokrasi, ASEAN merestui upaya kooptasi imperialis: elit dan korporasi-korporasi melalui mekanisme melemahkan posisi komunitas, di antaranya: Corporate Social Responsibilities (CSR), pengembangan standar ASEAN GAP (Good Aquaculture Practices), pengembangan koridor ekonomi Asia Tenggara, program nasional MP3EI, program pangan pro industri food estate hingga mekanisme solusi palsu perubahan iklim: perdagangan karbon, mitigasi perubahan iklim REDD dan Karbon Biru—yang keberpihakannya jelas untuk pemodal besar.
Kami, rakyat Indonesia memahami bahwa ini semua merupakan praktik penaklukan Indonesia. Ini adalah imperialisme! Yang terlahir dari tangan para penguasa modal guna mengendalikan Indonesia, rakyat dan kekayaan alamnya.
Kesengsaraan rakyat bukan omong kosong atau hasutan. Kesengsaraan ini adalah kenyataan atau realiteit yang bisa ditemukan buktinya.
Untuk itu, kami menolak segala bentuk eksploitasi, baik dalam aspek sosial, ekonomi, politik, dan budaya, termasuk rezim perdagangan bebas yang kini menjadi jiwa kebijakan ASEAN dan sejumlah lembaga dunia.
Kami menolak regionalisme yang tidak berdasarkan kedaulatan rakyat, serta pengintegrasian pasar tunggal yang inkonstitusional (bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945), sebagaimana yang kami tuntut dalam judicial review UU No. 38/2008 tentang Ratifikasi Piagam ASEAN.
Kami menjunjung tinggi penegakan demokrasi dan politik persatuan, demi menegakkan ekonomi kerakyatan, dari dan untuk rakyat.
Kami mencita-citakan Indonesia berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian di dalam budaya. Indonesia yang ingin kami bangun adalah bangsa dengan rakyatnya yang berdaulat pangan, energi, dan merdeka sepenuhnya dalam mengelola pembangunan berkelanjutan pangan, pertanian dan perikanan di pedesaan dan industri lokal—serta kreasi pasar lokal dan antar pulau yang menggelorakan ekonomi kerakyatan.
Untuk itu kami berkomitmen dan menyerukan:
- Negara anggota ASEAN mampu menegakkan kedaulatan rakyatnya dan sikap politik di hadapan dominasi kapitalisme monopoli
- Negara anggota ASEAN berkewajiban untuk memenuhi, melindungi dan mengakui HAM
- Negara anggota ASEAN menghentikan praktik perampasan sumber-sumber agraria, upah dan kerja dengan melaksanakan agenda-agenda kerakyatan untuk terpenuhinya kedaulatan pangan dan energi.
- Negara anggota ASEAN memastikan dan menjalankan redistribusi sumber-sumber agraria yang produktif
- Negara anggota ASEAN harus segera menyelesaikan konflik perbatasan di antara anggota ASEAN dan antar negara dengan prinsip non-intervensi, menjunjung tinggi perdamaian dan solidaritas antarbangsa
- Pimpinan negara ASEAN harus berani meminta pengakuan ganti rugi atas utang ekologi dan utang iklim oleh negara-negara maju—dan menuntut ganti rugi dan restitusi sebagai persyaratan mendasar keadilan iklim
- Negara anggota ASEAN harus memastikan kawasannya bebas dari pangkalan militer dan intervensi Amerika Serikat dan sekutunya
- Negara anggota ASEAN harus melindungi pendidikan bagi rakyat dari intervensi pemodal yang menginginkan kapitalisasi pendidikan—demi terwujudnya kedaulatan pendidikan untuk sepenuhnya berpihak pada rakyat. Pendidikan bersama dengan kesehatan adalah pelayanan publik yang tidak boleh dikomersialisasi
Dan kami:
- Menolak eksploitasi Pulau Bali berkedok pertemuan-pertemuan internasional yang tidak memperhatikan daya dukung, daya tampung lingkungan hidup serta pembangunan yang bersifat barbar;
- Menuntut untuk segera memberlakukan moratorium pembangunan akomodasi pariwisata demi Bali yang berkelanjutan.
Penandatangan deklarasi:
Serikat Petani Indonesia (SPI) l Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) | Gabungan Serikat Buruh Independen (GSBI) l Aliansi Petani Indonesia (API) l Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII) l Front Mahasiswa Nasional (FMN) l Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) | Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI) l Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) l Serikat Nelayan Indonesia (SNI) l Lingkar Studi Aksi untuk Demokrasi Indonesia (LS-ADI) l Frontier – Bali l Pers Kampus Kertha Aksara FH Universitas Udayana l BEM PM Universitas Udayana l FMN Denpasar l l WALHI Bali l KPA Bali l PBHI Bali l Yayasan Wisnu Bali l Sloka Institute l AJI Denpasar| Limas Bali l Mitra Bali l Komunitas Akarumput l Koalisi Anti Utang (KAU) l Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) l Institute for Global Justice (IGJ) l Bina Desa l Sawit Watch l Institute for National and Democratic Studies (INDIES) l Resistance Alternative to Globalization (RAG) l Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) l Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) l International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) l Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) l Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KrUHA) l Foker LSM Papua l Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMA) l Solidaritas Perempuan (SP) l Jubilee South APMDD
Denpasar-Bali, 17 November 2011