Spora-Palembang, Palembang diguyur hujan deras, angin kencang menyempurnakan cuaca ekstrem sejak Rabu (5/10/22). Jantung perkotaan dan pemukiman warga Kota Palembang terendam banjir. Meluapnya sungai musi merupakan faktor utama. Namun tidak bisa dipungkiri juga, penyebab banjir dikarenakan Kota Palembang semakin dipadati gedung-gedung tinggi bahkan maraknya warga melakukan aktivitas timbun-menimbun dasar rumah setinggi mungkin untuk menghindari banjir.
Kelas Akhir Pekan (KERAN) merespons banjir di Kota Palembang dengan mengadakan kajian di ranah Filsafat Materialisme dengan tema “Siapakah Yang Bersyukur dan Ikhlas Saat Musibah Banjir Menurut Konsep Kuasa Simbolik” pada Sabtu (08/10/2022) di Kafe Panche Hub Palembang. Tujuan dari kajian tersebut untuk mengkritisi penyebab banjir di Kota Palembang. Merujuk teori Kuasa Simbolik Pierre Bourdieu, yang menjelaskan praktik kuasa di arena sosial masyarakat berhubungan erat dengan Habitus dan Modal. Melalui teori tersebut KERAN mengajak peserta diskusi menyorot musibah banjir dari kacamata kritis. Musibah banjir tidak bisa hanya dijawab dengan “Syukur dan Ikhlas” disebabkan aktivitas pembangunan gedung-gedung, dan aktivitas masyarakat yang terus berlomba-lomba menimbun dasar rumahnya untuk menghindari banjir.
Akan menjadi masalah besar ketika gedung-gedung terus dibangun tanpa memikirkan sirkulasi aliran air saat musim hujan, dan semua rumah ditimbun setinggi mungkin, menyebabkan struktur permukaan tanah menjadi timpang. Akibat dari pembangunan gedung-gedung di perkotaan, dan maraknya timbun-menimbun tersebut, masyarakat miskin yang tidak dapat menimbun dasar rumahnya menjadi prioritas korban banjir.
Siapakah yang bisa membangun gedung-gedung tinggi, membangun rumah mewah, dan menimbun setinggi mungkin untuk menghindari banjir? Sudah pasti yang memiliki modal. Jangankan membangun gedung tinggi, menimbun, dan memiliki rumah mewah. Membeli rumah tipe ukuran 3X6 saja masyarakat bergaji UMR harus banting tulang siang dan malam. Masyarakat kelas bawah sampai masyarakat yang rentan dalam kemiskinan harus gigt jari setiap musim hujan tiba. Banjir menjadi hadiah bagi masyarakat yang kalah di dalam pergulatan sosial.
Kata mereka penikmat pembangunan, Masyarakat harus berlomba-lomba menimbun dasar rumahnya setinggi mungkin supaya dapat tertidur nyenyak setiap musim hujan tiba. Kalau tidak mampu menimbun, salah pemilik rumah itu sendiri yang gagal mengakumulasi modal/materi. Masyarakat yang tidak mampu menimbun dasar rumahnya, hanya bisa dihibur oleh Syukur dan Ikhlas. Apakah Syukur dan Ikhlas merupakan puncak kecewa masyarakat yang kalah di dalam pergulatan sosial, dan hanya pasrah ketika air hujan membasahi perabotan rumah sembari melamun semalaman menunggu hujan reda bersama anak dan istri?
Syukur dan Ikhlas merupakan kosakata agama yang sangat fundamental dan mengandung ibadah di dalam pemaknaannya, namun bagaimana dengan musibah banjir akibat perilaku mereka yang terus melakukan aktivitas timbun-menimbun, membangun gedung-gedung tinggi, dan terus membangun rumah mewah? Menurut Konsep Kuasa Simbolik teori dari Filsuf Perancis Pierre Bourdieu yang lahir dari buku Bahasa dan Kuasa Simbolik (1991) Kosakata di dalam bahasa mengandung praktik Kuasa Simbolik, sangat erat dengan Habitus dan Modal yang mendominasi arena sosial di masyarakat.
Dikarenakan kalah dalam arena sosial, Akhirnya rumah masyarakat yang tidak mampu berkompetisi menimbun dasar rumahnya semakin terhimpit gedung-gedung tinggi dan perumahan mewah. Apakah mereka yang kalah, akan menjadi pemenang di akhirat dengan mengucapkan Syukur dan Ikhlas 1 Milyar kali? Apakah mereka yang kalah semakin mabuk kepayang menikmati banjir sembari setia mengucapkan Syukur dan Ikhlas? Hujan deras, angin kencang, dan petir yang menyaksikan rumah masyarakat kebanjiran korban dari pembangunan mungkin dapat menjawabnya.