Palembang-Spora, Setiap tanggal 5 Juni perayaan Lingkungan Hidup Sedunia menjadi penandaan serius. Sudahkah kita bertanya. Sampai manakah keseriusan itu? Apakah masih syarat dengan teknis seremonial belaka. Menanam bibit pohon, membersihkan sungai, sosialisasi sampah plastik, membuat seminar, workshop, dan sebagainya. Semua ini merupakan opsi baik dalam rangka memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Tetapi membuat bias, terkikisnya kesadaran kritis memahami persoalan kerusakan lingkungan yang berlangsung sampai dengan hari ini. Minimnya kesadaran kritis untuk mengkaji struktur mapan yang tidak nampak.
Kerusakan lingkungan hidup di negara-negara berkembang yang bermuara pada krisis iklim di seluruh dunia menjadi bukti bahwa serumpun teori, dan produk dari ilmuwan asing di bidang lingkungan harus dipertanyakan kembali. Apakah sudah kontekstual dengan identitas Sumatera Selatan (Sumsel)? Bermanfaat atau tidak teori-teori tersebut diaplikasikan mengatasi permasalahan di Sumsel? Atau semua teori lingkungan yang hegemonik tersebut menjadi kompulsif belaka disebabkan autis formalitas. Belum adanya keseriusan mengatasi kerusakan lingkungan akibat aktivitas industri perkebunan, industri ekstraktif, dan industri di bidang lainnya.
Kajian lingkungan dicurigai hanya sekumpulan testimoni, mempraktikkan teori dari tokoh ilmuwan asing tanpa pernah menggali akar permasalahan sebenarnya. Dari sekumpulan testimoni tersebut kata kunci mengenai Pengetahuan Lokal, Kejeniusan Lokal yang melahirkan Kearifan Lokal hanya menjadi tempelan melengkapi kajian. Belum adanya wujud nyata untuk mengoreksi. Apakah kerusakan lingkungan yang terjadi saat ini disebabkan hilangnya semangat Kearifan Lokal? Atau menjadikan Kearifan Lokal sebatas kesadaran masa lalu yang primitif. Dengan bangga mengajukan semua solusi menggunakan semua teori yang sesungguhnya bukan identitas Sumsel
Spora Institute, menjadikan momen Hari Lingkungan Hidup Sedunia sebagai peristiwa budaya untuk kembali menyadari identitas Sumsel di tengah kemajuan sains dan teknologi. Diwujudkan dengan terlaksananya kegiatan di Kafe Panche Hub berlokasi di Jalan Rambutan Nomor 20 Kelurahan 30 Ilir Palembang, Kamis (8/6/22). Kegiatan mengangkat tema “Kearifan Lokal Sebagai Solusi Mengatasi Kerusakan Lingkungan”.
Pembacaan narasi lingkungan oleh Sutradara Teater Potlot Conie Sema “Tubuhku Terus Berasap”, dalam esainya yang dipublikasikan Media Mongabay 28 Oktober 2019 silam, Conie memaparkan permasalahan lingkungan yang sangat kompleks. Khususnya di lahan basah rawa gambut melalui pendekatan Lanskap Berasap, Lanskap Ekonomi, dan Lanskap Budaya.
Staf Pendidikan Spora Institute Asmaran Dani membacakan prosa “Adakah Masa lalu Itu?” Pemuda yang sedang menempuh studi Sosiologi Konflik di Pascasarjana UNSRI tersebut menghadirkan tokoh “Sekolah”, “Buku-Buku Baru”, dan nilai-nilai sastra tutur sebagai tokoh “Masa Lalu”. Di dalam prosa tersebut Asmaran ingin menyampaikan bahwa buku-buku baru dan sekolah harus dipahami sebagai realitas yang tidak absolut. Buku-buku baru dan sekolah harus dikritisi, sehingga tidak membuat manusia menjadi terasing bahkan melupakan kampungnya sendiri.
Narasi lingkungan juga turut dibacakan oleh pengajar muda di Indonesia Hebat Mulyana Santa. Perempuan yang aktif sebagai penggiat literasi kota Palembang itu membacakan esai “Pohon-Pohon” karya Goenawan Mohamad melalui buku Catatan Pinggir seri ke-14 terbitan gramedia 2021. Memberikan pemahaman kesombongan manusia terhadap alam melalui representasi menebang pohon di hutan dengan serakah.
Pembacaan narasi lingkungan ditutup dengan esai jurnalistik karya Taufik Wijaya “Tanpa Minyak Sawit, Kita Terus Masak dan Mandi”. Esai yang terbit di Mongabay pada 23 Maret 2022 itu dibacakan Owner kafe Panche Hub Arada Emir Jordan. Dalam esai tersebut tergambar paradoks, Indonesia yang memiliki kebun sawit dengan luas sekitar 15,08 Juta Hektar (2021) mengalami kelangkaan minyak goreng. Esai dari penulis Novel Juaro (2005) tersebut, merupakan kenyataan negara yang bertekuk lutut di hadapan pengusaha kebun sawit, mengakibatkan negara tidak mampu berpihak kepada masyarakat, dan hanya gigit jari saat tidak bisa mengontrol kenaikan harga minyak goreng.
Setelah pembacaan narasi dilanjutkan dengan diskusi singkat. Turut serta Akademisi Hubungan Internasional UNSRI Gunawan dan Ferdiansyah, juga kedatangan penyair sekaligus jurnalis lingkungan di Mongabay Taufik Wijaya. Dari diskusi tersebut mempresentasikan permasalahan lingkungan yang berlangsung sampai saat ini tidak bisa dilepaskan dari intervensi globalisasi. Khususnya pengetahuan masih dimonopoli oleh negara-negara maju yang berkepentingan menguasai sumber daya alam di negara berkembang
Kegiatan dimulai pukul 19.30 sampai dengan 22.00 WIB dipandu oleh Mahasiswi Teater PGRI Selvia Anggraini. Kegiatan dibuka oleh Direktur Spora Institute J.J Polong, menyampaikan pentingnya mencintai dan mempraktikkan nilai-nilai kearifan lokal. Dengan memahami nilai-nilai kearifan lokal, spirit untuk menjaga lingkungan hidup menjadi selaras dengan identitas Sumsel. Produk pengetahuan lokal seperti yang terhimpun di dalam sastra tutur berupa pepatah-petitih dan pantun merupakan sumber ilmu pengetahuan, berhasil menjaga keseimbangan alam. Hubungan manusia dengan flora dan fauna begitu harmonis pada puluhan abad sebelumnya berkat sastra tutur yang dimaknai sebagai ritual, pantangan, nasehat, juga sebagai kode etik moral bagi siapa saja yang melakukan kerusakan lingkungan.
Pada kegiatan memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia di tahun 2022 ini, Spora Institute juga mengkampanyekan “Kearifan Lokal Sebagai Solusi Mengatasi Kerusakan Lingkungan” melalui kampanye teks digital berlatar hijau yang disebarkan ke berbagai media sosial, sekaligus simbol yang digunakan untuk berfoto bersama setelah berakhirnya acara.