Palembang-Spora, Langit di malam itu tak ada bintang, hanya cahaya petir yang menimbulkan suara menggelegar menyambut derasnya hujan di Pondok Spora Green, Jumat (20/06/25). Pada malam pukul 19.30 WIB kami tak lagi membisu menyaksikan perjuangan dari Serikat Petani Indonesia Sumatera Selatan (SPI Sumsel) yang menghadirkan Ripong selaku Sekertaris DPW SPI Sumsel. Ia datang membersamai di dalam rangkaian acara Festival Bulan Juni 2025 dengan menyodorkan wacana perlawanan terhadap kabut asap sejak 2023 bersama Inisiasi Sumsel Penggugat Asap (ISPA). Ripong tidak hanya membawa tubuh lelah yang selama 3 tahun sibuk bepergian, Kayu Agung-Palembang-Jakarta sebagai medan perjuangan menuntut korporasi pembakar hutan. Ripong di malam itu membawa cerita yang telah lama dikubur korporasi dan oligarki. Di malam ini, suara-suara dari desa naik perlahan dalam kegiatan diskusi bertema Dialog Kabar Petani: Lahan Terbakar Hidup Tercekik.
Ripong tidak datang sebagai korban. Ia datang sebagai pejuang mewakili suara petani Sumsel yang selama ini dituduh sebagai pembakar hutan. Ia tahu, bahwa luka petani ini bukan diakibatkan oleh takdir tuhan melalui musim kemarau semata, melainkan oleh keserakahan korporasi yang difasilitasi negara. Menurutnya kalaupun ada pembakaran oleh petani atau masyarakat adat dilakukan dalam skala kecil dan dikontrol secara kolektif, berbeda dengan pembakaran masif oleh perusahaan yang justru menimbulkan bencana ekologis yang tidak terkendali.
Data bukan lagi sekadar angka yang disajikan negara. Angka-angka itu adalah bau hangus yang menempel di paru-paru anak desa, kehidupan sosial ekonomi petani yang semakin tercekik tidak bisa membaca data BPBD yang menjelaskan di bulan Juni 2025 saja, BPBD Sumsel mencatat 113 titik panas. Status siaga darurat kembali ditetapkan. Seperti mantra yang diulang-ulang setiap tahun tanpa perubahan nyata. Tapi pertanyaannya bukan lagi tentang seberapa luas hutan yang terbakar, melainkan siapa yang terus membakar, dan siapa yang menikmati bencana kabut asap setiap tahunnya.
Dalam diskusi yang merupakan bagian dari Festival Bulan Juni 2025, satu demi satu suara dari akar rumput menyuarakan pandangan kritis. Mereka sepakat, bahwa petani bukan pelaku. Mereka adalah korban sekaligus penjaga terakhir kehidupan di desa yang terus direnggut korporasi. Mereka dituduh membakar hutan dan lahan. Padahal api yang sesungguhnya, datang dari kebijakan konsesi yang menjadi kepentingan ekonomi negara.
Apa yang diungkapkan Ripong selaras dengan pembacaan ekologi Marxian, yang memandang bahwa kerusakan lingkungan bukan hasil dari kelalaian teknis semata, melainkan konsekuensi dari sistem kapitalisme yang mendorong eksploitasi alam demi akumulasi keuntungan. Dalam logika ini, alam diposisikan sebagai komoditas, masyarakat adat dianggap penghambat produksi, dan petani menjadi tumbal dari proyek-proyek ekstraktif yang dilanggengkan oleh negara dan oligarki.
Dari sisi lingkungan hidup, Ade Indriani Zuchri dari Ketua Umum Sarekat Hijau Indonesia (SHI) menyampaikan bahwa bahasa negara hari ini masih berpihak pada pemilik modal, bukan pada rakyat atau ekosistem. Ia menekankan bahwa kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan tidak hanya berdampak pada manusia, tapi juga membunuh kehidupan liar yang tak pernah masuk hitungan kebijakan. Dalam penjelasannya, Ade merujuk pada teori oligarki Jeffrey Winters, yang menunjukkan bahwa kekuasaan politik di Indonesia tetap dikendalikan oleh pemilik kekayaan yang mampu membeli hukum, perlindungan aparat, bahkan penundaan keadilan.
Lebih jauh, Ade menjelaskan bahwa relasi sosial di desa-desa masih banyak dikendalikan oleh praktik patron-klien. Dalam pola ini, masyarakat digiring untuk tunduk pada elite lokal atau korporasi yang berperan sebagai pelindung, padahal kenyataannya mereka sedang
direproduksi sebagai kelas yang bergantung dan tak berdaya. “Kalau masyarakat tidak memutus relasi patron-klien, mereka tak akan pernah mampu membangun kekuatan politik sendiri,” ujarnya.
Arin, aktivis muda dari SHI Prabumulih, menegaskan bahwa perjuangan hukum yang tengah dilakukan SPI dan koalisi rentan dimanipulasi oleh pengaruh kekuasaan dan modal. “Jangan sampai akal bulus pengadilan menggagalkan gugatan yang dilakukan Koalisi Melawan Kabut Asap demi kepentingan korporasi,” katanya.
Sementara itu, Riko, peserta diskusi lainnya, menggarisbawahi perbedaan mendasar antara praktik membuka lahan oleh petani dan korporasi. “Petani membakar karena keterbatasan alat, dan mengikuti aturan adat. Sedangkan korporasi membakar masif, tidak bertanggung jawab, dan menipu publik dengan bersembunyi di balik citra sebagai pihak yang turut melakukan pemadaman saat Karhutla,” ucapnya.
Diskusi ini diperkuat oleh JJ Polong, Direktur Spora Institute. Ia bersaksi bahwa sejak tahun 1980-an, ketika ia masih sekolah di SMA, kabut asap sudah muncul saat musim kemarau yang sangat panjang. “Dulu kebakaran hutan dan lahan lebih banyak disebabkan oleh kondisi alam. Sekarang kita tahu, kabut asap dikarenakan tata kelola perusahaan yang tidak peduli pada lingkungan, tapi kekuasaan membuat mereka kebal,” katanya. Ia menyebut bahwa kebakaran hutan harus dipahami sebagai bencana kuasa yang tidak bisa dilepaskan dari dimensi politik, budaya, dan ekologi. JJ Polong juga mengangkat konsep kutukan sumber daya alam, yakni kondisi ketika kekayaan justru membawa kemiskinan dan konflik karena kontrol atas sumber daya hanya dimiliki oleh segelintir elite yang dimanjakan negara.
Diskusi malam itu bukan sekadar tempat berbagi keluh kesah. Ia berubah menjadi ruang konsolidasi, tempat perlawanan dikembalikan ke tangan rakyat. Satu hal menjadi jelas: masyarakat desa dalam hal ini petani di Sumsel tidak lagi diam. Mereka tidak hanya bertahan di tengah asap, tapi mulai menggugat, membongkar, dan membangun ulang relasi kuasa dari bawah. Tanah yang selama ini terbakar, kini mulai menumbuhkan benih keberanian dan kesadaran. “Dan dari desa-desa yang tertindas, SPI Sumsel terus melawan kekuasaan yang menciptakan bencana kabut asap. Suara perlawanan sedang tumbuh pelan tapi pasti,” Asmaran Dani menutup diskusi pukul 22.30 WIB.