Palembang-Spora, Penurunan jumlah konflik kehutanan merupakan salah satu rekomendasi penting yang dihasilkan dari hasil studi UNDP di Sumatera Selatan. Hal ini terungkap dari kegiatan Discussion and Result Assesment Forest Governance, Land and REDD+ 2012 antara UNDP, Dinas Kehutanan Sumsel dan organisasi masyarakat sipil atau LSM di Novotel Palembang (10/10). Acara ini dibuka oleh Direktur Walhi Sumsel, Anwar Sadat dan dihadiri oleh sekitar 30 perserta antara lain perwakilan dari Sarekat Hijau Indonesia (SHI), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Perserikatan OWA, Majelis LSM Sumsel dan Yayasan Spora, serta wartawan dari berbagai media.
Hal yang diperlukan dalam penurunan jumlah konflik kehutanan adalah: (1) Pengutan kerangka hukum dan kebijakan yang didalamnya mencakup percepatan pengesahan Peraturan Daerah (PERDA) tentang pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat yang telah diidentifikasi, serta membangun mekanisme penanganan pengaduan tenurial kehutanan. (2) Penguatan kapasitas para aktor yang didalmnya mencakup penguatan kapasitas penyelesaian konflik tenurial kehutanan berdasarkan pendekatan multipihak, penyusunan kode etik dan SOP penanganan konflik kehutanan dan lahan, penambahan alokasi anggaran penyelesaian konflik, serta membangun MoU penyelesaian konflik antara PEMDA, LSM dan organisasi masyarakat adat.
Menurut Yulian Junadi, Direktur Spora, yang hadir pada acara tersebut, menilai persoalan konflik kehutanan lebih didasari oleh Tata Kelola yang kurang partisipatif. Skema partisipasi selama ini masih pada level yang sangat rendah, bahkan cenderung dimanipulasi. Rakyat sering diabaikan dan suaranya tidak didengar dalam penentuan kawasan hutan atau pemberian konsesi dalam pengelolaan hutan, selain kurangnya pemberdayaan bagi masyarakat di sekitar hutan. “Kita sedang memulai kembali membangun kekuatan organisasi rakyat agar tingkat partisipasinya meningkat menjadi citizen control dengan membuka ruang pembelajaran yang lebih masif di tingkat desa”, kata Yulian. (S02)