Palembang-Spora, Kelas Akhir Pekan (KERAN) Spora Institute, Sabtu (23/7/22) menyodorkan diskursus “Spirit Aktivisme Lingkungan” guna memberikan pemahaman kepada mahasiswa, pemuda, dan aktivis dari berbagai organisasi di Palembang. Tujuan diadakannya diskusi seputar aktivisme, hendak menegaskan bahwa menjadi aktivis dengan konsentrasi apapun itu harus didasari “Spirit” yang dibangun dari sikap dan prinsip yang tidak bias ideologi. Khususnya stempel “Aktivis Lingkungan” menjadi perhatian diskusi yang dimulai sejak pukul 20.30 sampai dengan 22.00 WIB.
Diskusi dilaksanakan di Kafe Rumah Sintas Palembang, dibuka dengan pemutaran film dokumenter “Revolusi Popok” produksi Watchdog (Januari 2022). Film dokumenter berdurasi 20 menit itu menampilkan lembaga Ecological Observation and Wetland Conservation (Ecoton) Gresik Jawa Timur yang gelisah dengan permasalahan sampah popok di sungai Surabaya dan di daerah sekitaran Jawa Timur. Film dokumenter tersebut mencoba menjembatani permasalahan sampah di sungai yang dikampanyekan lembaga Ecoton, melalui tokoh aktivis lingkungan Prigi Arisandi dan Amiruddin. Diskursus “Spirit Aktivisme Lingkungan” langsung dibahas oleh Prigi dan Amir yang kebetulan sedang meneliti Mikroplastik dan limbah industri di Sungai Musi Palembang.
Turut dihadiri Direktur Spora Institute JJ. Polong, membawakan paparan sesuai dengan tema diskusi. Akademisi yang akrab dikenal publik sebagai sosok penyair kelahiran Baturaja itu, menyampaikan kegundahan aktivisme di Sumatera Selatan (Sumsel) Palembang khususnya, lemahnya paradigma. Untuk menjadi aktivis, perlunya pemahaman yang konkret. Pemahaman tersebut akan menjadi dasar paradigma setiap aktivis untuk konsisten di isu yang dijalani. Setidaknya Polong menjelaskan, dasar-dasar spirit untuk menjadi aktivis mesti dilatarbelakangi alternatif paradigma, sikap, dan prinsip.
“Setiap aktivis harus punya spirit. Adanya spirit harus diawali dengan pilihan paradigma, supaya bergerak dengan sikap dan prinsip sesuai dengan (Paradigma) nilai yang dianut. Pilihannya bisa bergerak dengan paradigma Prosaic atau Imaginative. Nah, setelah itu tentukan arah bentuk. Bergerak dengan bentuk Reformis atau Radikal, bentuk yang sudah ditentukan tersebut harus dijalani oleh Aktivis tersebut dengan konsisten.” Ucapnya.
Prigi dan Amir, aktivis lingkungan yang bergerak di isu sungai sejak 2000 silam itu juga menuturkan hal sama. Khususnya Prigi menyampaikan, konsistensi untuk menjadi aktivis harus datang dari motivasi diri sendiri, mempunyai kegelisahan dengan masalah yang menjadi fokus isu. Aktivis juga harus menghadirkan wacana kritis berlandaskan fakta alias ilmiah.
“Aktivis merupakan intelektual rakyat, makanya harus berkolaborasi dengan peneliti dan ilmuwan. Atau aktivis itu sendiri yang bisa langsung melakukan aktivitas riset sebelum menggedor kekuasaan, menyatakan sikap kritis untuk mengawasi setiap permasalahan aktual. Wacana kritis juga bisa diasah oleh setiap aktivis, melakukan diskusi di warung kopi dengan bahasa sederhana alias percakapan rakyat.” Ucap Prigi, salah-satu pendiri lembaga Ecoton.
Diskusi yang digerakkan untuk mendukung tim Ekspedisi Sungai Nusantara (ESN) yakni Prigi dan Amir selama di Palembang melakukan aktivitas riset di Sungai Musi itu dimoderatori Gubernur Mahasiswa FISIPOL UNSRI, Dinar Try Akbar.
“Wah, kita harus banyak belajar dari Cak Amir, Cak Prigi, dan Pak Polong yang konsisten di jalan aktivisme lingkungan. Spirit mereka kita bisa teladani, apalagi tadi Pak Polong telah memberikan materi dasar paradigma untuk menjadi aktivis. Saya pikir dasar paradigma tersebut harus dipahami oleh mereka yang ingin fokus membela masyarakat yang kalah dalam pergulatan sosial, menyebarkan nilai-nilai kebaikan untuk kehidupan orang banyak. Maupun terus mengkampanyekan empati terhadap permasalahan lingkungan hidup.” Tutup Dinar, pemuda kelahiran 2002 yang gemar mengoleksi sepeda motor Vespa.