Dampak Ekonomi Hijau (Green Economy) di Jambi Dan Solusinya

Oleh : Sarwadi Sukiman)*

Saya datang ke RIO de Janeiro ini dalam konferensi Rakyat se dunia bersamaan dengan dilaksanakannya Konferensi PBB tentang Pembangunan berkelanjutan (United Nation Conference Sustainable Development) dan yang di kenal dengan Konferensi RIO+20 untuk menceritakan dampak pembangunan sistem kapitalisme Global yang berdampak pada penguasaan sumber agraria di daerah kami.

Kami masyarakat Adat dan para petani di Jambi mengalami dua (2) kali pengusiran yaitu : pengusiran pertama ketika kami masyarakat Adat diusir oleh PT. Asialog pada awal 1970 an, PT. Asialog tersebut bergerak di bidang HPH Pengelolaan Kayu dan mendapat izin dari pemerintah Republik Indonesia.

Setelah PT. Asialog tidak aktif lagi pada tahun 2002 kami masyarakat Adat dan para petani mulai menanami tanah yang ditinggalkan terbengkalai tersebut dengan tanaman-tanaman, makanan, buah-buahan dan kayu-kayuan.

Tanah tersebut kami jadikan tempat tinggal dan membangun komunitas pedesaan, pendidikan, tempat Ibadah, pemakaman-pemakaman, dan fasilitas sosial lainnya.

Pada 2007/2008 keberadaan kami merasa diganggu dengan hadirnya Pangeran Charles dari Inggris yang akan menjadikan tanah kami sebagai area untuk konservasi untuk menyelamatkan/penyerapan emisi karbon.

Diatas tanah seluas 101.365 Ha (Jambi dan Sumatera Selatan) tersebut sebagian besar sudah menjadi perkampungan dan tempat mencari kehidupan masyarakat Adat dan para petani. Menurut informasi yang kami dapatkan area tersebut akan dijadikan area penyerapan emisi karbon yang akan dikelola oleh PT. REKI. PT.REKI merupakan gabungan dari 3 NGO (YBI, BLI, RSPB) dan mendapatkan dana dari perusahaan-perusahaan, NGO dan pemerintah di Eropa.

Sejak saat itu kami para petani selalu ditakut-takuti, diintimidasi, di paksa menanda tangani pernyataan agar keluar dari area tersebut oleh PT. REKI.

Kami melakukan perlawanan, alat-alat berat perusahaan PT. REKI kami usir keluar area. Karyawan PT. REKI kami suruh meninggalkan area.

Akibatnya kami sering di kriminalisasi, dituduh melakukan ilegal loging, melakukan terorisme padahal kami justru menanami lahan-lahan tersebut dengan pohon karet, dengan tanaman makanan, buah-buahan dan lainnya.

Aksi demontrasi pun kami lakukan kepada pihak pemerintah dan PT. REKI dan hal tersebut kami lakukan berkali-kali.

Beberapa petani di panggil pihak kepolisian dengan tuduhan bahwa petani menggarap hutan dan lahan milik PT. REKI.

Dari pengalaman kami tersebut, kami sampaikan sebagai berikut :

1. Bahwa sistem ekonomi kapitalisme global telah nyata-nyata gagal, karena sistem tersebut tidak adil dan merusak lingkungan yang akhirnya menimbulkan pemanasan global (climate change) serta permasalahan lainnya.

2. Bahwa kegagalan yang diakibakan oleh sistem ekonomi kapitalisme tersebut tidak boleh ditimpahkan kepada negara-negara pemilik sumber daya Agraria seperti Indonesia dan negara-negara pemilik hutan lainnya.

3. Negara-negara industri dengan sistem kapitalisme globalnya yang telah terbukti gagal harus merubah sistem ekonomi yang lebih adil dan tidak merusak alam.

4. Bahwa sumber daya Agraria harus dipergunakan untuk pemenuhan kedaulatan pangan dan ekonomi di setiap negara agar meminimalkan perpindahan produksi dari negara satu ke negara lainnya, dengan demikian akan mengurangi ekploitasi sumber daya Agraria (Hutan, tambang, dan lainnya).

5. Kepada seluruh masyarakat dunia kami mohon bantuannya agar bersama-sama berkontribusi aktif dalam proses-proses perjuangan menuju kedaulatan politik, ekonomi dan sosial budaya.

6. Khusus untuk kasus kami di Jambi, kami mohon kepada seluruh masyarakat dunia untuk membantu agar persoalan kami cepat terselesaikan.

*)Sarwadi Sukiman adalah Ketua SPI Jambi Anggota La Via Campesina. Makalah ini disampaikan dalam Konferensi Rakyat se Dunia (Cupula Dos Povos)Bersamaan dengan Konferensi PBB tentang Pembangunan Berkelanjutan (UNCSD/RIO + 20) di Rio de Janeiro, Brazil

Berkomentar