Palembang, Spora – Penutupan Festival Bulan Juni (FBJ) 2025 berlangsung hangat dan penuh makna di Rumah Sintas Café, Minggu malam (29/6). Acara yang dimulai pukul 19.00 hingga 22.00 WIB ini dihadiri oleh berbagai komunitas yang selama sebulan berkontribusi aktif, di antaranya Sarekat Hijau Indonesia, Komunitas Mode Pesawat, UKMK Mirror UIN Raden Fatah, Readsistance, SPI Sumsel, OWA Institute, Himaseperta Unsri, Kelana Book Club, Solidaritas Perempuan, Komunitas Mang Jaki, Komunitas Kota Kata, Palembang Book Party, Teras Pikiran, dan Spora Institute.
Penutupan festival kali ini berlangsung lebih intim, diawali dengan prosesi potong tumpeng oleh Ketua Umum Sarekat Hijau Indonesia, Ade Indriani Zuchri, yang kemudian dilanjutkan dengan makan malam bersama seluruh peserta dan tamu undangan. Kebersamaan ini menjadi simbol solidaritas dan penghargaan atas kontribusi setiap komunitas.
Usai santap malam, panggung pentas seni dibuka dengan tarian jaipong oleh Dona, disusul nyanyian sinden yang mengangkat protes terhadap sistem kapitalisme yang dinilai merusak kemanusiaan dan alam. Penampilan drama pendek berjudul “Pohon Terakhir” menjadi sajian berikutnya, mengajak penonton merenungkan pentingnya menjaga lingkungan. Beragam penampilan lain turut memeriahkan malam itu, mulai dari pembacaan puisi, monolog, hingga lagu-lagu protes. Jenni dan Bryan membawakan lagu tentang Lebak Lebung yang tergerus oleh korporasi, sementara Indie Salsabilah dan Langgam juga tampil memukau dengan lagu tentang alam dan perjuangan.
Pentas seni malam ini menjadi bagian penting dari refleksi dari tema FBJ, “Persemian Zona Otonom” karena ia menghadirkan ruang sementara yang bebas dari kontrol, di mana ekspresi, kreativitas, dan kebersamaan dapat tumbuh tanpa batas, para peserta dan penonton tidak hanya menjadi konsumen, tetapi juga agen yang menciptakan realitas sosial baru secara kolektif, menolak intervensi otoritas atau norma dominan. Hal ini selaras dengan gagasan Hakim Bey tentang Temporary Autonomous Zone (TAZ) yang menekankan kebebasan, kemandirian, dan pembebasan pikiran dari struktur kekuasaan yang mapan.
Selain itu, Pentas seni tidak hanya bersifat kontemplatif, tetapi juga transformatif. Ia menjadi sarana perubahan sosial, mengajak peserta untuk merefleksikan kondisi sosial, melakukan kritik, dan membayangkan kemungkinan baru di luar sistem yang ada. Dalam konteks ini, seni bukan sekadar hiburan, tetapi juga alat untuk membangun kesadaran kolektif dan solidaritas. Dengan demikian, pentas seni bukan hanya pelengkap, melainkan inti dari refleksi zona otonom.
Di tengah gelapnya malam, Dimana bulan tak menampakkan sinarnya, semangat zona otonom yang diusung festival ini justru membara, mengobarkan api kebebasan dan kreativitas tanpa batas. Seperti bayang-bayang Hakim Bey yang melesat ke angkasa, festival ini bukan sekadar perayaan seni dan komunitas, melainkan sebuah seruan kuat untuk terus menjaga ruang-ruang otonom—tempat di mana setiap individu dan kelompok dapat merdeka dari belenggu sistem yang mengekang. Dari Rumah Sintas Café, harapan itu menyebar, bahwa kemandirian dan pembebasan pikiran bukan hanya mimpi sesaat, melainkan pijakan nyata menuju masa depan yang lebih bermakna dan penuh harapan.