Perkataan Imperialisme muncul pertama kali di Inggris pada akhir abad XIX. Disraeli, perdana menteri Inggris, ketika itu menjelmakan politik yang ditujukan pada perluasan kerajaan hingga suatu “impire” yang meliputi seluruh dunia. Perkataan imperialisme berasal dari kata Latin “imperare” yang artinya “memerintah”. Hak untuk memerintah (imperare) disebut “imperium”. Orang yang diberi hak itu (diberi imperium) disebut “imperator”. Yang lazimnya diberi imperium itu ialah raja, dan karena itu lambat-laun raja disebut imperator dan kerajaannya (ialah daerah dimana imperiumnya berlaku) disebut imperium.
Imperialisme adalah sebuah kebijakan di mana sebuah negara besar dan berkuasa dapat memegang kendali dalam hal pemerintahan, ekonomi ataupun kebudayaan atas daerah lain agar negara itu bisa dipelihara atau berkembang yang bertujuan untuk mengambil untung sebesar-besarnya dari daerah yang telah dipelihara dan dikuasainya tersebut. Imprealisme ini tidak hanya dalam bentuk politik dan ekonomi, tetapi juga dalam bentuk kebudayaan
Imperialisme kebudayaan didefinikan sebagai (Antr) pandangan mengenai adanya kebudayaan asing yang lebih kuat yang mendominasi suatu golongan masyarakat sehingga warganya kehilangan kepribadian dan identitasnya. Si imperialis hendak menguasai jiwa (de geest, the mind) dari suatu negara lain. Dalam kebudayaan terletak jiwa yang telah mendarah daging dari suatu bangsa. Jika kebudayaannya dapat diubah, berubahlah jiwa dari bangsa itu. Si imperialis hendak melenyapkan kebudayaan dari suatu bangsa dan menggantikannya dengan kebudayaan si imperialis, hingga jiwa bangsa jajahan itu menjadi sama atau menjadi satu dengan jiwa si penjajah. Menguasai jiwa suatu bangsa berarti mengusai segala-galanya dari bangsa itu. Imperialisme kebudayaan ini adalah imperialisme yang sangat berbahaya, karena masuknya gampang, tidak terasa oleh yang akan dijajah dan jika berhasil sukar sekali bangsa yang dijajah dapat membebaskan diri kembali, bahkan mungkin tidak sanggup lagi membebaskan diri.
Globalisasi pada kenyataannya semakin mengarah kepada satu bentuk Imperialisme budaya (cultural Imperialism) barat kepada budaya-budaya lain. Prof. Amer al-Kaubaie, pakar globalisasi di International Institute of Islamic University Malaysia mencatat bahwa “telah dipahami secara luas bahwa gelombang tren budaya global dewasa ini sebagian besar merupakan produk barat, menyebar keseluruh dunia lewat keunggulan teknologi elektronik dan berbagai bentuk media dan system komunikasi. Istilah-istilah seperti penjajahan budaya, penjajahan media (media imperialism), pengusuran cultural (cultural cleansing), ketergantungan budaya (cultural dependency) dan penjajahan elektronik (elektronik colonialism) digunakan untuk menjelaskan kebudayaan global baru serta berbagai akibatnya terhadap masyarakat non barat.
Contoh yang paling nyata imperialisme kebudayaan dapat dilihat dalam bentuk slogan-slogan menyesatkan, seperti sistim dunia moderen dan globalisasi. Dengan alasan bahwa dalam iklim baru dunia saat ini, setiap negara bergerak ke arah kesamaan dan globalisme, negara-negara Barat berusaha menyamakan semua kebudayaan. Akan tetapi peleburan kebudayaan ini, tak lain merupakan upaya untuk memusnahkan ajaran dan keyakinan agama serta identitas-identitas nasional di negara-negara berkembang, dan untuk menegakkan kekuasaan kebudayaan materialis Barat di seluruh dunia. Dengan kata lain, Barat tidak bisa menerima variasi kebudayaan yang ada saat ini di dunia, dan berniat melemahkan, atau memusnahkan kebudayaan-kebudayaan pribumi semua negara dengan berbagai cara. Karena itu imperialime budaya ini perlu kita waspadai, serta harus dibangun strategi perlawanan terhadap imperialism ini.