Catatan Festival Bulan Juni 2024, dari Sisi Gerakan Lingkungan

Oleh: Deitra Ailsa Dinata

Festival Bulan Juni (FBJ) 2024 yang dilakukan dengan asas kemandirian dan konektivitas antar komunitas telah membuka wawasan anak muda mengenai kerusakan lingkungan. Kegiatan yang dibungkus dengan beragam platform berupa dialog, seni dan handcraft berlangsung dengan penuh sukacita, didatangi oleh beragam kalangan, yang menunjukan kepedulian, khususnya kaum muda, salah satunya terkait dengan isu lingkungan dalam upaya memperpanjang umur bumi.

Tulisan “ Pilih Bumi atau Oligarki” dan “Activism is not a Crime” dilokasi acara merupakan kutipan perlawanan terhadap aktor-aktor yang merusak bumi. Kalimat-kalimat tersebut bisa jadi sangat menyeramkan bagi kaum elit yang hanya mementingkan keuntungan diri sendiri dan tidak memikirkan nasib rakyat . Dikutip dari perkataan salah satu narasumber,  “Pikiran kita harus terus dibebani untuk melakukan perlawanan terhadap perusak lingkungan dan praktik-praktik buruk pengelolaan sumberdaya alam”.

Dialog lingkungan selama kegiatan yang berlangsung sepanjang Juni tahun ini diawali oleh Himpinan Mahasiswa Sosial Ekonomi Pertanian (Himaseperta) Universitas Sriwijaya di Kafe Blok Semanggi dengan mengambil Tema “ Zero Waste Lifestyle: Mengurangi sampah menyelamatkan bumi” pada 8 Juni 2024. Kegiatan berikutnya mengambil Tema  “The Last of Sagoo Tree”  yang dilaksanakan oleh Sarekat Hijau Indonesia (SHI) pada 14 Juni 2024 di Rumah Sintas. Tema ini menggugat kerusakan lingkungan dan komersialisasi sagu sebagai pangan pokok orang Papua. Saatnya kita melakukan Dekolonisasi Pangan, kata Ade Indriani Zuchri, Ketua Umum SHI yang menjadi narasumber pada sesi diskusi setelah nonton bareng film “Pohon Sagu Terakhir”.

Spora Institute yang melaksanakan kegiatan pada 21 Juli 2024 mengambil tema “Food, Land and Freedom” yang dikemas dalam musikalisasi puisi dan diskusi. Puisi karya JJ Polong yang berjudul Lebak Lebung dan Gadis-Gadis Perahu yang dibacakan Zidan dan Muhammad Husni menyuarakan kerusakan lahan basah di Sumatera Selatan. Pada sesi diskusi dengan Tema “Pangan dan Lahan sebagai Alat Pembebasan”  telah mendorong anak muda menjadi berani dan kritis karena dipantik oleh para narasumber seperti Untung Saputra dari Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) Sumsel dan Asmaran Dani seorang penyair dan aktifis Mazhab FrankFurt. Kegiatan yang dilaksanakan di Rumah Sintas ini dimoderatori oleh Anyelir Putri Rahayu, Penyanyi Indie yang banyak menyuarakan persoalan lingkungan.

Greenpeace sebagai NGO Gerakan kampanye lingkungan global ikut hadir pada festival ini pada Jumat malam (28/6) dengan tema “Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut” mengajak anak muda untuk terus menyuarakan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kekuasaan oligarki. Acara yang berkolaborasi dengan Pantau Gambut Sumsel dan Hutan Tropis ini berlangsung dengan semangat yang membara, diramaikan oleh banyak komunitas pencinta lingkungan dan kemanusiaan, serta kehadiran mahasiswa dari berbagai universitas yang ada di palembang yang turut memberikan dukungan serta siap bergerak menyelamatkan lingkungan.

Dalam penutupan Festival Bulan Juni (30/6) tema lingkungan diusung oleh Solidaritas Perempuan Palembang, menyuarakan krisis iklim, mengajak semua kalangan yang resah terhadap persoalan ini, terutama Perempuan karena mereka berada di garis depan yang menerima dampak sosial, ekonomi dan budaya. Disela setiap rangkaian acara ini,  penikmat festival berharap besar agar FBJ dapat dilakukan lagi ditahun-tahun selanjutnya. Salam independen dan solidaritas teriakan penonton dari ruang-ruang kegiatan yang suaranya terus menggema di hati kita.

Ada 2 komentar

  1. Dadang Dinata berkata:

    Untuk penulis pemula tulisan ini sudah cukup bagus dan menarik untuk dibaca terus asah biar lebih baik lagi

Berkomentar