Spora-Palembang, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sumsel mengadakan silaturahmi pada Selasa (30/8/2022) dalam rangka “Konsolidasi Gerakan Reforma Agraria Untuk Meluruskan dan Memperkuat Pelaksanaan Reforma Agraria” bersama Spora Institute, Sarekat Hijau Indonesia (SHI) Sumsel, Serikat Petani Indonesia (SPI) DPW Sumsel, Walhi Sumsel, Solidaritas Perempuan Palembang, dan berbagai Organisasi Massa (Ormas) lainnya.
Pertemuan yang dipandu Caesar Aditya anggota KPA Sumsel berlangsung sejak pukul 09.00 sampai dengan 13.00 WIB di sekretariat KPA Sumsel yang baru. Terletak di Perumahan Taman Ogan Permai, Jalan Pinus I Blok. EE Nomor 1 Kelurahan 15 Ulu Kecamatan Jakabaring Kota Palembang.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) KPA Dewi Kartika turut serta bersama para aktivis agraria lintas ormas. Membuka acara konsolidasi, memaparkan “Situasi Agraria, Kebijakan, dan Gerakan Reforma Agraria Secara Nasional”.
“Pertemuan ini bentuk serius guna menjahit konsolidasi lintas Ormas bersama para aktivisnya yang menangani konflik agraria di Sumsel. Maksud konsolidasi menegaskan Reforma Agraria Sejati harus dipahami dengan tuntas oleh gerakan agraria di hari ini. Apalagi pertemuan ini merupakan momen baik untuk memetakan kekuatan gerakan sosial menyikapi situasi politik nasional menjelang Pemilu 2024.” Ucap Dewi.
Representasi dari lintas Ormas, disampaikan Yulian Junaidi Dewan Penasehat Serikat Petani Indonesia DPW Sumsel sekaligus Direktur Spora Institute. Yulian menyambut pemaparan Dewi dengan merefleksikan 3 permasalahan yang sampai hari ini menjadi tantangan gerakan agraria. Seperti Paradoks Kebijakan Agraria, Dinamika Konflik Agraria, dan Eksistensi Reforma Agraria Sejati Dalam Wujud Gerakan Massa.
“Kebijakan agraria di hari ini menjadi paradoks dengan makna Reforma Agraria Sejati, sehingga konflik agraria belum menemukan formula tepat agar bisa diselesaikan dengan tempo singkat. Gerakan sosial yang berkonsentrasi di isu agraria harus tetap begerak dengan membaca realitas di global, di pusat, dan di daerah. Mendorong pemerintah meredistribusikan tanah untuk rakyat perlu Gerakan Reforma Agraria Sejati yang tidak diceraikan dari basis massa.” Kata Yulian sembari mempublikasikan data Spora Institute terkait penelitian permasalahan agraria dari tahun 2013 sampai dengan hari ini menunjukkan belum ada perubahan yang progresif.
Tipologi konflik agraria ke depan semakin komprehensif, hal itu diungkapkan Dewi menanggapi laporan konflik agraria yang didata KPA semakin meningkat sedangkan permasalahan lama belum terselesaikan, justru dari permasalahan tersebut melahirkan beragam masalah baru.
“Konflik agraria terbaru, dan segudang konflik agraria lama semakin larut dibuai janji kekuasaan. Tentu perlu kajian sistematik. Salah-satu penyebabnya dapat mengacuh pada posisi Indonesia di hadapan global, politik global menjadikan Indonesia harus tunduk pada investasi asing. Ribuan konsensus investor bersama pemerintah semakin membuat struktur konflik agraria menindas masyarakat di daerah. Gerakan agraria harus cepat merespons, menyikapi situasi global di era kemajuan sains dan teknologi di hari ini.” Tegas perempuan yang mengabdikan hidupnya di jalan perjuangan agraria.
Menurut catatan KPA, sepanjang 2021 ada 207 konflik agraria tersebar di 32 provinsi, dan untuk data konflik agraria di tahun 2022 masih diolah oleh internal KPA. Pada 2021 total ada 198.859 keluarga terdampak konflik agraria akibat kebijakan pemerintah yang paradoks. Negara terus mensosialisasikan Reforma Agraria namun di sisi lain terus memberikan kemudahan investor asing mengelola lahan di daerah. Sinergisitas lintas ormas dapat dipraktikkan guna menjawab konflik agraria di hari ini dan ke depan, hal itu diungkapkan oleh Mursidah anggota SHI Sumsel.
“Apa yang disampaikan Ibu Dewi, Pak Yulian, dan kawan-kawan lintas Ormas saya pikir sangat menggambarkan fakta di lapangan terkait permasalahan agraria. Sinergisitas lintas ormas dapat menjadi alternatif untuk mengintervensi kebijakan pemerintah agar berpihak pada masyarakat di lahan konflik agraria.” Kata perempuan yang akrab disapa Idah itu.