Indonesia saat ini sedang menjajaki era peralihan. Di mana, isu generasi langgas (milenial) dan dampak mereka terhadap negara tidak lagi membara. Generasi ini telah tergeser oleh generasi Z yang disebut-sebut sebagai antitesis dari milenial. Kini, generasi Z sudah mulai mengambil alih tongkat komando negara. Generasi yang lahir di era perkembangan teknologi ini disebut sebagai Digital Native atau pribumi digital, dikarenakan mereka lahir pada zaman digital dan menggunakan peralatan digital sejak usia dini. Realitas sosial yang terjadi di sekitar pun berkata bahwa keseharian remaja saat ini sudah tidak dapat terlepaskan dari penggunaan gawai. Mereka cenderung menikmati aktivitas secara daring. Misalnya, adanya kebutuhan untuk tetap terhubung dengan internet setiap saat, menjalin hubungan pertemanan melalui dunia maya, mengunggah keseharian di media sosial, serta menciptakan komunikasi secara verbal.
Pesatnya teknologi dan perubahan zaman yang semakin merangkak tajam tidak hanya memberikan imbas pada aktivitas sosial, tetapi terlihat juga pengaruhnya terhadap gaya belajar seseorang. Menurut seorang konsultan pendidikan, Marc Prensky, dalam artikelnya yang berjudul Digital Natives, Digital Immigrants, teknologi telah mengubah sudut pandang generasi Z dalam berpikir dan memproses informasi, sehingga sulit bagi generasi ini untuk ulung secara akademis menggunakan metode pengajaran yang sudah usang. Hal ini berkaitan dengan hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Ghaith (2010) mengenai gaya belajar generasi pribumi digital, dengan ciri-ciri: cara belajar dengan cepat serta memproses informasi secara cepat. Namun pada akhirnya, sukar untuk berkonsentrasi dengan baik, karena kebiasannya mencari informasi yang cepat dalam waktu singkat.
Kecenderungan generasi pribumi digital yang serba cepat dan instan menjadikan mereka lebih memilih browsing informasi, tanpa mau berlama-lama membaca informasi dengan lengkap (Law, 2009). Pada esensinya, penggunaan teknologi dapat memberikan konsekuensi positif terhadap pembentukan generasi penerus mendatang. Kemunculan internet dapat menjadi sumber ilmu sebagai titik tumpu pembelajaran. Terlebih lagi dengan kecanggihan dunia sekarang, sudah wajar terlihat jika aktivitas belajar seperti menulis, kini tergantikan dengan mengetik. Kertas pun mulai kehilangan eksistensinya setelah bertumbuh menjadi layar gawai. Lalu, apakah era ini menjadi saksi dalam evolusi manusia menjadi pengguna gawai sejati?
Dalam membentuk paradigma pendidikan masa depan untuk membangun generasi yang superior, ada beberapa gagasan untuk diterapkan yang sesuai dengan pola pikir dan karakter generasi saat ini. Dua konsep dasar ini merupakan terobosan terkini dalam menunjang efektivitas pembelajaran, yaitu Wise e-Learning System dan Literacy Culture System.
Wise e-Learning System (aturan belajar melalui media digital secara bijak), meliputi pembelajaran berbasis paperwise (penggunaan kertas secara bijak) dengan mengandalkan teknologi digital sebagai katalis pendidikan tanpa meninggalkan kertas dan literatur cetak itu sendiri. Seperti pendidikan di SMA Kusuma Bangsa yang kegiatan pembelajarannya difasilitasi oleh iPad dan Apple TV, untuk mengakses semua sumber pembelajaran dalam satu genggaman, namun tetap menggunakan buku cetak penunjang untuk menghindari kesalahan informasi atau kepalsuan data. Seperti yang kita tahu, semua penulis dan pengunggah data pada media internet tidak melewati seleksi yang ketat dan tidak ada yang bertanggung jawab akan unggahannya. Maka di sinilah pentingnya sebuah teknologi yang berbasis paperwise. Di era yang serba canggih ini, Paperuse (penggunaan kertas) mungkin dianggap sebagai suatu paham yang ketinggalan zaman. Tetapi, sebuah perubahan tidaklah berarti beralih secara total. Kita tidak fokus pada perubahan objek lama menjadi objek baru, tetapi bertujuan untuk mengembangkan suatu pemanfaatan dari objek itu sendiri. Mengapa keseimbangan antara teknologi digital dan kertas atau buku sangatlah krusial? Seperti yang kita tahu, teknologi memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri, termasuk kertas. Maka dari itu, diperlukan kolaborasi di antara keduanya agar kita hanya fokus untuk mengambil sisi positifnya masing-masing. Melalui hal tersebut, kami melakukan sebuah penelitian berbasis kuisoner yang berjudul “Tingkat Efektivitas Belajar antara Penggunaan Kertas dan Tanpa Kertas pada
Pelajar di SMA Kusuma Bangsa Palembang” dengan menggunakan teknik Proportional Random Sampling. Dalam penelitian ini, kami mendapat data bahwa proses pembelajaran melalui media digital memberikan dampak positif pada efisiensi penggunaan (skor 3,83, kriteria tinggi). Sedangkan penggunakan media kertas atau buku fisik memberikan dampak positif pada capaian pemahaman dalam belajar (skor 4,1, kriteria tinggi), validasi data (skor 3,6, kriteria tinggi), capaian prestasi belajar (skor 4,1, kriteria tinggi), dan perkembangan afektif (skor 4,2, kriteria sangat tinggi). Hal ini menunjukkan, baik media digital maupun buku fisik memiliki andil tersendiri dalam menjadi fasilitator pembelajaran. Untuk itu, konsep mengenai Wise e-Learning System merupakan fundamental yang efektif untuk diterapkan pada sistem pendidikan di era sekarang ini. Konsep yang kedua, Literacy Culture System penggalakkan budaya literasi). Penggunaan gawai seringkali dianggap sebagai bom nuklir paling mencekam terhadap gairah seseorang untuk menulis dan membaca. Gawai lebih sering disebut sebagai alat pemblokade jendela dunia. Ada pun penelitian yang paling mengiris hati diperlihatkan oleh studi “Most Littered Nation in the World” yang dilakukan oleh Central Connecticut State University.
Dalam studi tersebut, Indonesia menempati peringkat 60 dari 61 negara terhadap minat membaca. Hal ini sebenarnya berbanding lurus terhadap isu-isu cendala yang tertorehkan dalam penggunaan digital. Pasalnya, tower-tower telekomunikasi lebih membludak dibandingkan bangunan perpustakaan. Perpustakaan berjalan yang biasanya menjadi intermeso bagi anak-anak kini seperti harta karun paling langka yang tak terlihat lagi jejaknya. Di kawasan-kawasan tertinggal pun, persebaran perpustakaan hanya satu di tiap daerah. Padahal, kawasan tertinggal biasanya memiliki akses internet yang sulit dijangkau. Namun kenyataannya, anak-anak serta remaja pada kawasan tersebut lebih sering memegang gawai dibanding buku. Lalu, untuk jalan lepas dari fenomena ini, seharusnya di setiap sekolah menggalakkan budaya literasi dalam sistem pendidikannya. Dalam sistem ini, diadakan jam membaca buku fiksi atau non-fiksi selama 15 menit setiap harinya serta menulis refleksi membaca setiap satu minggu sekali. Seusai menulis, siswa diperkenankan untuk mengemukakan hasil tulisannya untuk mengekspansi kemampuan berkomunikasi secara non-verbal. Hal itu penting diterapkan pada setiap sekolah untuk meningkatkan kemampuan maupun minat membaca dan menulis di era digital ini.
Penggalakkan literasi di Sekolah Kusuma Bangsa juga menggunakan strategi yang unik. Sekolah di tempat kami belajar ini bekerja sama dengan suatu toko buku terbesar di Palembang. Melalui kerja sama ini, semua siswa Sekolah Kusuma Bangsa yang membeli buku di toko buku tersebut akan mendapatkan potongan harga dengan menunjukkan kartu pelajarnya. Hal ini menjadi sebuah daya tarik tersendiri. Biasanya, penawaran-penawaran paket kuota internet lebih menjamur di kalangan pelajar. Kata-kata “penawaran” atau “promo” lah yang membuat orang-orang menjadi impulsif dalam membeli sesuatu. Strategi unik ini dapat diterapkan dalam mendorong para pribumi digital untuk memiliki hasrat dalam membaca buku.
Penggunaan teknologi digital maupun kertas atau buku cetak memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Tetapi, jika dengan adanya perkembangan teknologi membuat kita mengganti penggunaan kertas atau buku secara keseluruhan, itu artinya sama saja dengan membuang dampak negatif sekaligus menolak dampak positif yang berpengaruh. Di sinilah diperlukan perubahan paradigma dalam menghadapi suatu tantangan yang sedang berjalan. Terkadang, saat kita memasuki dunia peralihan, kita cenderung tidak mahir dalam mengdisambiguasi makna. Peralihan teknologi sering dianggap sebagai strategi penggulingan tatanan lama yang sudah berdiri sejak dahulu. Tatanan lama dianggap sebagai suatu sistem yang kolot dan harus digantikan dengan paham baru yang dapat menjadi bumerang. Karena itu, penggunaan teknologi secara bijak ialah suatu hal yang amat substansial.
Konsep mengenai Wise e-Learning System dan Literacy Culture System merupakan fundamental yang kuat dan harus berjalan dalam sistem pendidikan Indonesia. Tujuan pengembangan dan peralihan bukanlah menghilangkan, tetapi menggunakan secara bijak. Karena, tidak ada perubahan yang berarti tanpa kebijaksanaan yang mengiringi.
Terimakasih untuk artikel blog seputar teknologi berbasis paperwise. Teknologi yang beragam dapat diimplementasikan serta dimanfaatkan banyak pengguna. Augmented Reality Jakarta merupakan teknologi berbasis augmented reality yang digunakan agar pengguna merasakan pengalaman imersif dalam berbagai bidang.