Palembang, Spora – Krisis ekologi 10 tahun terakhir ini selalu menghantui masyarakat terutama yang bermukim di kawasan Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG) dan sekitarnya, di mana pada musim kemarau terjadi kekeringan dan karhutla serta pada musim hujan terjadi banjir. Hal ini diungkapkan Koordinator Pantau Gambut Sumatera Selatan, M. Hairul Sobri pada kegiatan Fokus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan Pantau Gambut Sumsel dan Perkumpulan Tanah Air (PETA) pada 8 Maret 2024 di Palembang.
Krisis ini dipicu oleh alih fungsi lahan gambut untuk pertanian, perkebunan, dan kepentingan lainnya. Karena itu Sobri meminta aparat berwenang menyetop kegiatan alih fungsi ini yang telah menimbulkan berbagai permasalahan atau dampak buruk di berbagai sektor, seperti lingkungan, ekonomi, kesehatan hingga hubungan bilateral antar negara.
Untuk mengatasi masalah tersebut, perlu keseriusan pemerintah dengan tidak mengeluarkan izin yang mengancam KHG, katanya. Menurut mantan Direktur Eksekutif Walhi Sumsel itu, selama ini sudah banyak yang dilakukan berbagai pihak untuk menyelesaikan permasalahan gambut yang mengintai setiap tahunnya, namun masih banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan.
Pada kesempatan ini juga, Kepala Sub Pokja Restorasi Gambut Sumsel BRGM Desi Efrida Lesti menyampaikan ‘roadmap’ pendekatan restorasi gambut di provinsi ini dilihat dari tiga periodik yakni pada 2016-2020 berlangsung secara parsial dan ‘quick respond’ yakni merestorasi gambut yang terjadi karhutla berbasis KHG tanpa memperhitungkan lanskap hidrologi gambut.
Kemudian pada 2021-2024 konsen kerja meliputi parsial dan ‘quick respond’ serta sistematika terpadu. Dalam periode itu, lembaga adhock yang konsen terhadap gambut pemodelannya restorasi sistematik dan terpadu dengan memperhitungkan lanskap hidrologi gambut.
Kemudian untuk periode 2025 sudah fokus dengan implementasi penuh restorasi sistematik terpadu, artinya bagaimana kondisi KHG akan tetap terpelihara dan memiliki fungsi sebagaimana mestinya. “Memang persoalan di lapangan masih didapati masyarakat bergantung untuk keberlangsungan hidupnya di kawasan gambut lindung maupun konservasi. Jangan sampai perseteruan terjadi justru antara pemerintah dan masyarakat. Ini harus dihindari,” ujar Desi Efrida.
Tim Restorasi Gambut Daerah (TRGD) Sumatera Selatan mendata hingga 2024 ini luasan lahan gambut di Sumsel terus berkurang. “Luas lahan gambut Sumsel yang sebelumnya sekitar 2,1 juta hektare, sekarang ini masih tersisa 1,7 juta ha atau 7,55 persen dari total luas gambut Indonesia yang mencapai 13,43 juta ha,” kata Sekretaris TRGD Sumsel Eko Agus Sugianto.
Dia menjelaskan, terus berkurangnya luasan lahan gambut akibat kebakaran pada setiap musim kemarau, pengelolaan gambut tidak sesuai dengan fungsinya, deforestasi, serta alih fungsi lahan gambut untuk pertanian, perkebunan, dan kepentingan lainnya.
Sementara Akademisi Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya (Unsri) Palembang Yulian Junaidi menjelaskan bahwa perlu dibentuk desa ekologis sebagai ujung tombak merawat dan mengelola KHG. Desa ekologis memiliki sistem kelola yang integratif dan partisipatif baik proses tata kuasa, tata kelola, tata produksi dan tata konsumsi berbasis pada pengelolaan sumberdaya berkelanjutan dengan kearifan lokalnya.
Konsep ini relevan dengan pemberdayaan masyarakat di kawasan gambut dilihat dari karakteristik sumberdaya alam sub-optimal, disusul sumberdaya manusia (SDM) tani bercorak kecil, cerai-berai dan tradisional (KCT).
“Konsep ini tentunya dapat dijadikan landasan untuk membangun kewarganegaraan ekologis atau ecological citizenship sebagai tindakan kolektif, serta membantu Indonesia ke arah low carbon economy,” ujar akademisi ini yang juga sebagai Direktur Spora Institute. (Sumber: Antara)