Paris-Spora, Sekitar 15 000 orang berkumpul di Champ de Mars di bawah Menara Eiffel, membentuk banyak rantai manusia di jalan-jalan dan di taman kota dalam aksi menuntut keadilan iklim pada 12 Desember 2015, mengahiri perhelatan besar COP 21 di Paris yang berlangsung sejak 30 Nopember 2015. Aksi yang digerakkan oleh Koalisi Iklim 21 yang merupakan gabungan dari 130 organisasi masyarakat sipil dan kelompok Greens ini menyuarakan gerakan global terpadu melawan perubahan iklim. Ade Indriani Zuchri, General Secretary Serikat Hijau Indonesia (SHI) hadir dalam aksi tersebut dan melihat COP 21 sebagai pertarungan diskursus iklim antara kepentingan sektor bisnis dan kepentingan masyarakat. Untuk itu keseriusan Negara-negara peserta COP 21 untuk berpihak pada kepentingan masyarakat harus terus di uji.
Lebih lanjut Ade mengatakan, kesepakatan Paris bukan produk yang sempurna untuk mengakomodir semuà kepentingan. Kesepakatan ini mengakomodir kebutuhan semua negara dalam posisi kerja di atas batas-batas negara dengan segala konsekuensi atas perubahan iklim bagi kemanusiaan. Negara harus hadir di tengah dampak perubahan iklim terutama pada kelompok rentan seperti masyarakat miskin, petani dan nelayan, termasuk didalamnya perempuan dan generasi anak, masyarakat adat, serta para pengungsi akibat iklim. Negara seharusnya tidak memberikan batas tolerasnsi terhadap sektor yang secara khsusus berkontribusi pada kerusakan ruang kelola masyarakat.
Menurut General Secretary SHI ini, cara pandang keliru pemerintah Indonesia dalam memahami siapa yang berhak atas daulat ekonomi lokal masih terus berlangsung. Hal ini menunjukkan keberpihakan negara yang terlalu berlebihan terhadap sektor swasta. Tak ada negara secara bersungguh sungguh menampilkan kondisi buruknya hutan, tanah,dan sederet konflik yang diakibatkan oleh perusahaan-perusahaan besar yang telah membabat jutaan hektar hutan kita, tak ada yang bersuara soal kriminalisasi terhadap perusahaaan besar sawit yang telah menyebabkan buruknya kualitas hidup masyarakat, dan bagaimana Negara-negara Eropa dan Amerika menurunkan cara hidup mereka yang boros terhadap energi dan permintaan akan tissue dalam skala besar.
Banyak pihak berharap dari perjanjian Paris ini. Dalam banyak hal kesepakatan Paris telah memutuskan opsi yang paling konservatif sampai paling ambisus. Sebanyak 195 negara di dunia telah sepakat untuk mempertahankan kerangka kerja internasional dan multilateral – meskipun sangat lemah – dari “rezim iklim” untuk benar-benar mengubah situasi, padahal aturan organisasi dan prinsip-prinsip ekonomi dunia dan perdagangan internasional harus tunduk pada target iklim. Semoga Paris yang telah melahirkan Revolusi Prancis ini mampu melahirkan Revolusi Iklim yang dapat merubah situasi dunia dimasa yang akan datang. (SI02)