Spora-Palembang, Hari lingkungan hidup sedunia yang diperingati setiap Tanggal 5 Juni, seringkali hanya menjadi momentum peringatan seremonial belaka seperti menanam bibit pohon, sosialiasasi sampah, membersihkan sungai, seminar atau workshop. Namun, dalam peringatan hari lingkungan seringkali melupakan kita pada argumentasi kritis yang selalu terbangun. Seakan kita melupakan diskursus tentang hulu kerusakan lingkungan hidup di sekitar kita, dan selalu memikirkan hilir yang terus berulang. Terutama di kalangan generasi muda, kesadaran kritis mengenai lingkungan hidup semakin berkurang dan terlupakan, padahal kekuatan mereka dalam pengkayaan kajian dan diskusi akar rumput sangatlah besar.
Kajian lingkungan yang selalu digaungkan dicurigai hanya sekumpulan testimoni, mempraktikkan teori dari tokoh ilmuwan asing tanpa pernah menggali akar permasalahan sebenarnya. Belum adanya keseriusan mengatasi kerusakan lingkungan akibat aktivitas industri perkebunan, industri ekstraktif, dan industri di bidang lainnya membuat kita harus merefleksikan kembali makna hari peringatan lingkungan hidup yang kita peringati. Kondisi ini tentu memperparah perubahan iklim yang semakin nyata terasa. Komitmen negara dalam pengurangan emisi karbon dan mencegah kenaikan suhu 1,5 derajat celsius di tahun 2023 patut di pertanyakan.
Kegiatan nonton bareng dan diskusi lingkungan yang diadakan Panche Hub, Simpul Jaringan Pantau Gambut Sumsel, dan SIEJ Simpul Sumsel dengan tema “Waktunya Kita Berbicara Tentang Iklim” menjadi pengantar diskursus yang harus hidup berkelanjutan. Kegiatan ini dimulai pada pukul 18.30 WIB dengan nonton bareng film dokumenter “Semesta” yang dilanjutkan diskusi lingkungan yang dipandu oleh Anggota Panche Hub dengan pemateri M. Hairul Sobri dari Pantau Gambut, Ibrahim Arsyad dari SIEJ Sumsel dan JJ Polong dari Spora Institute. Kegiatan ini sendiri diikuti oleh berbagai komunitas lintas generasi yang ada di Sumsel.
Direktur Spora Institute JJ Polong menyampaikan dalam memandang isu lingkungan dan perubahan iklim, harus menjadi renungan bahwa hulu masalahnya berada di ketimpangan dan kesalahan dalam pengelolaan sumber daya alam yang lebih condong melibatkan korporasi. Sedangkan masyarakat lokal hanya dijadikan objek pengelolaan sumber daya alam, bukan sebagai aktor. Masyarakat harus dikembalikan otoritas penuhnya dalam pengelolaan sumber daya alam. Jika masyarakat dikembalikan otoritasnya dalam tata kelola sumber daya alam dengan kearifan lokal dan karakteristik wilayahnya, maka masyarakat juga berkontribusi menjaga lingkungan dan mengatasi krisis iklim, bahkan menjaga lingkungan agar tetap lestari.
Pandangan serupa juga disampaikan oleh M. Hairul Sobri sebagai Koordinator Simpul Jaringan Pantau Gambut Sumsel yang memandang bahwa permasalahan iklim merupakan permasalahan akumulatif dari aktivitas industri yang tidak ramah lingkungan bertahun-tahun yang lalu. Mungkin sekarang dengan aktivitas industri yang serampangan belum berdampak banyak, namun nanti anak cucu kita yang merasakan dampak luar biasa kerusakan lingkungan. Terlebih ekosistem gambut sangat berperan penting dalam pengatur iklim, jika dalam keadaan rusak maka akan mengeluarkan emisi karbon dan sumber karhutla. Kita harus sadar dan mengingat kembali karhutla 2015 dan rasakan bagaimana situasi sulitnya.
Ibrahim Arsyad dari Jurnalis Lingkungan SIEJ Simpul Sumsel menyampaikan media sangat berperan penting dalam kampanye perlindungan lingkungan hidup dan perubahan iklim. Tantangan yang dihadapi oleh para jurnalis adalah konsistensi dan kepekaan terhadap sekitar yang harus terjaga. Apalagi media sosial saat ini memiliki kekuatan besar terhadap perubahan kebijakan sehingga harus dimaksimalkan (Wahyu).