Civil Society di Hari Ini

Reformasi Indonesia mungkin bebatuan bopeng seperti batu-batu kerikil di pinggir trotoar jalan raya. Di sela bebatuan kerikil itu, cita-cita Indonesia sejahtera, adil, dan makmur masih bernafas menghirup demokrasi Pancasila dan UUD 1945. Di hari ini siapa yang berani mengklaim reformasi sudah memberi keadilan dan kemakmuran pasca jatuhnya kekuasaan Soeharto.

Apa kabar reformasi dengan sederet produk Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif. Juga sedemikian banyaknya lembaga negara yang ada, apakah memang masih bermanfaat mendongengkan keadilan dan kemakmuran. Hanya oligarki bisa menjawabnya atau mungkin agen Civil Society entitas independen yang masih mampu menjawab pertanyaan itu meskipun terbata-bata, seperti Organisasi Massa, Lembaga Swadaya Masyarakat, Organisasi Mahasiswa, dan beragam Lingkar Studi.

Gerakan Civil Society di hari ini mungkin bisa mengatakan: bobroknya demokrasi jika masyarakat dalam sebuah negara bersikap tidak peduli dengan sistem pemerintahan. Nah, bagaimana dengan gerakan Civil Society di hari ini. Apakah hari ini membentuk sebuah gerakan Civil Society alternatif namun terjebak di zona mapan dan nyaman dengan ide atau gagasan yang telah ada. Bahkan enggan mengenal di luar komunitas atau gerakannya, disebabkan mengalami phobia akut dengan peristiwa politik hari kemarin. Selalu berprasangka bahwa komunitas atau gerakannya yang paling idealis dan bersih dari kepentingan politis.

Bagaimana generasi milenial membentuk komunitas dan klub studi diskusi. Selalu berbicara demokrasi tetapi menghindari kehadiran gerakan Civil Society lainnya. Bahkan gerakan Civil Society yang minim kajian atau malas melakukan studi sistematik.

“Yang paling konyol, alergi dengan gerakan Civil Society lainnya tetapi tidak mau mengkritisi dan saling berhadapan antar komunitas untuk mendapatkan anti-tesis yang progresif. Peristiwa di hari ini mungkin gerakan Civil Society Homogenik,” Alexis de Tocqueville filsuf dalam bidang politik dan sejarah asal Perancis sedang berdebat dengan Tan Malaka di dalam kubur.

Civil Society Homogenik

Civil Society merupakan wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan Kesukarelaan, Keswasembadaan, dan keswadayaan yang berkemandirian tinggi. Civil Society menjadi agen menyikapi setiap peristiwa politik di pemerintahan dengan  independen.

Sedangkan Homogen atau Homogenik merupakan entitas yang memiliki sifat yang sama, menjadi satu ragam tanpa ada perbedaan. Mengacu pada makna Homogenik, pasca reformasi mungkin generasi milenial tidak dapat lagi membuat gerakan Civil Society dengan latar berbeda namun dengan satu narasi sama: menuju pembebasan. Mendesak negara untuk mewujudkan kesejahteraan, keadilan, dan kemakmuran sesuai dengan teks Pancasila, dan UUD 1945.

Latar belakang Civil Society di setiap komunitas menentukan nasib politik, apakah gerakan Civil Society tetap dapat mendesak negara melakukan perubahan sosial. Kalau komunitas atau gerakan Civil Society tidak mengalami dialektika, yang terjadi hanya menjadi pengikut senior di sebuah komunitas atau lembaga. Mengerikan. Tanpa disadari gerakan Civil Society di hari ini saling menyodomi alias sama-sama menjadi predator sodomi.

Maka tidak heran kalau semua gerakan Civil Society hari ini mengalami impotensi dan mengalami bias kontradiksi. Untuk menjadi gerakan Civil Society yang mempunyai kekuatan melakukan perubahan sosial. Penulis mengadaptasi teori Kubus Kekuasaan John Gaventa, setiap gerakan Civil Society perlu memiliki Kubus Kekuasaan.

Setidaknya kekuasaan independen dari gerakan itu sendiri: mulai dari menentukan level gerakan, gerakan bermain di skala lokal, nasional, global, atau mengakomodir semua jaringan dari lokal sampai internasional. Ruang gerakan seperti apa yang hendak didesain, tertutup, terbuka, atau bermain strategi buka-tutup. Dan bentuk gerakan seperti apa hendak dicapai, bentuk kultural, atau menempuh jalan struktural.

 

*Pengantar diskusi Civil Society Era Milenial di Kafe Panche Hub Palembang. Sabtu, 25 Juni 2022 (15.30-`17.30 WIB)

Berkomentar