Ribuan petani Serikat Petani Indonesia (SPI) yang berasal dari Banten dan Jawa Barat melakukan aksi menuntut dijalankannya reforma agraria dan penghentian perampasan tanah serta kriminalisasi (bahkan pembunuhan) petani, di Jakarta, (12/02). Ribuan petani SPI ini berbaur dengan puluhan ribu massa aksi lainnya yang berasal dari berbagai elemen gerakan sosial Indonesia seperti kaum buruh, nelayan, mahasiswa, aktivis lingkungan, miskin kota, dan lainnya
Massa aksi yang sejak dini hari sudah berkumpul di Mesjid Istiqlal melakukan long march menuju Istana Negara yang kemudian dilanjutkan ke gedung DPR-MPR di bilangan Senayan, Jakarta. Massa juga sempat “menyinggahi” gedung Mahkamah Agung untuk menyampaikan petisi dan tuntutannya kepada lembaga negara yang juga “sering” membela kepentingan pemodal besar multinasional ini.
Di istana negara, massa aksi juga hanya sekedar menyampaikan tuntutan dan petisinya, karena Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Republik Indonesia “kebetulan” sedang tidak berada di ibukota.
Sementara itu, Eka Wildanu, petani SPI asal Cirebon menyampaikan bahwa aksi ini juga dilakukannya sebagai solidaritas terhadap beberapa kasus pengkriminalisasian petani dan perampasan tanahnya, mulai dari kasus di Sei Litur, Kampar, Merangin, Mesuji, Bima dan lainnya.
“Saatnya petani bangkit melawan kesewenangan pemerintah yang selalu saja mementingkan perusahaan dan pemodal besar. Hari ini kami datang jauh-jauh dari Cirebon dan bergabung dengan elemen gerakan sosial lainnya untuk bersama-sama meneriakkan derita teman-teman petani yang sudah dikriminalisasi sedimikian rupa hanya demi kepentingan segelintir orang,” tutur Eka.
Henry Saragih, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia memaparkan bahwa salah satu tuntutan dasar pada aksi kali ini adalah agar reforma agraria sejati segera dilaksanakan.
“Reforma agraria adalah suatu upaya korektif untuk menata ulang struktur agraria yang timpang, yang memungkinkan eksploitasi manusia atas manusia, menuju tatanan baru dengan struktur yang bersendi kepada keadilan agraria. Keadilan agraria itu sendiri adalah suatu keadaan dimana tidak ada konsentrasi berlebihan dalam penguasaan dan pemanfaatan atas sumber-sumber agraria pada segelintir orang. Oleh karena itu pemerintah harus segera mengeluarkan kebijakan-kebijakan tentang pelaksanaan reforma agraria sejati di Indonesia seperti dalam bentuk Peraturan Pemerintah tentang Reforma Agraria dan lainnya yang berlandaskan pada UUPA No. 5 tahun 1960 dan UUD 1945,” jelas Henry.
Henry juga mendesak pemerintah untuk segera mencabut sejumlah UU yang telah mengakibatkan perampasan tanah dan kriminalisasi petani seperti UU No.25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No.18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU No.4 tahun 2009 tentang Minerba, dan UU Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, serta UU lainnya yang tidak berpihak kepada rakyat.
“Oleh karena itu pengesahan Revisi UU Pangan dan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (yang masukannya juga harus dari organisasi tani) wajib diselesaikan sesegera mungkin oleh DPR,” tambah Henry yang juga Koordinator Umum La Via Campesina (Gerakan Petani Internasional).
Sementara itu, Berry Nahdian Furqan, Direktur Eksekutif Nasional WALHI menyampaikan, sepatutnya pemerintah menarik anggota TNI dan Polri dari wilayah konflik agraria agar tidak jatuh korban lebih banyak lagi. Pemerintah juga didesak untuk membebaskan para pejuang rakyat yang ditahan ketika melawan perampasan tanah.
Aksi ini juga meminta pemerintah untuk mencabut seluruh hak guna usaha, kontrak karya pertambangan, izin usaha pertambangan, dan izin pengelolaan hutan tanaman yang bermasalah dengan rakyat dan merusak lingkungan hidup yang dilakukan oleh korporasi luar negeri, swasta, atau BUMN.
“Bubarkan juga Perhutani dan Inhutani serta berikan hak dan akses kelola yang lebih luas kepada rakyat, khususnya penduduk desa dan masyarakat adat dalam mengelola sumber daya hutan,” tambah Berry.
34 Anggota DPR Tandatangani Pembentukan Pansus Konflik Agraria
Selain itu, Henry Saragih juga menyampaikan bahwa aksi ini juga mendesak DPR agar segera membentuk Panitia Khusus (Pansus) penyelesaian konflik agraria dan sumber daya alam tanpa melakukan revisi terhadap UU No. 5 Tahun 1960.
“Nantinya pansus ini haruslah lintas komisi karena konflik agraria ini bukan melibatkan satu sektor saja, tetapi melibatkan antarsektor,” tambahnya.
Oleh karena itu massa aksi mendesak agar setidaknya terkumpul 20 tandatangan dari anggota DPR untuk menyetujui dibentuknya Panitia Khusus (Pansus) Konflik Agraria yang diharapkan dapat menyelesaikan sengketa agraria dan mengembalikan hak tanah kepada masyarakat.
“Jika tidak terkumpul 20 tandatangan maka kami semua akan menginap disini,” tutur Agustiana selaku Koordinator Lapangan aksi kali ini.
Setelah melakukan negosiasi dengan para anggota DPR dan “dibumbui” dengan sedikit kegaduhan, akhirnya didapatlah 34 tandatangan anggota DPR yang setuju dengan dibentuknya Pansus Konflik Agraria.
“Kita semua akan menilai selama 100 hari ke depan bagaimana nanti jadinya Pansus ini,diharapkan dapat menyelesaikan sengketa agraria dan mengembalikan hak tanah kepada masyarakat. jika tidak seperti yang kita harapkan maka kita semua akan siap untuk menurunkan 10 kali lipat massa aksi yang lebih besar dari kali ini,” tambah Agustiana.
Selain di Jakarta, aksi juga serentak dilakukan di 27 Provinsi di wilayah Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali, hingga Nusa Tenggara.
Aksi sendiri ini merupakan aksi bersama yang terdiri dari 77 organ gerakan masyarakat sipil Indonesia yang tergabung dalam Sekretariat Bersama Pemulihan Hak Hak Rakyat Indonesia, yang terdiri atas Serikat Petani Indonesia (SPI), Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), Serikat Petani Pasundan (SPP),Parade Nusantara, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Persatuan Pergerakan Petani Indonesia (P31), Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Asosiasi Tani Nusantara (ASTANU), Serikat Nelayan Indonesia (SNI), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Serikat Hijau Indonesia (SHI), Paguyuban Petani Hutan Jawa (PPHJ), Serikat Petani Merdeka (Setam-Cilacap), Rumah Tani Indonesia (RTI), Gabungan Serikat Buruh Independent (GSBI), Konfederasi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Federasi Perjuangan Buruh Jabodetabek (FPBJ), Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI-Tangerang), Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI), KPO- PRP, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), GreenPeace, KONTRAS, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Sawit Watch, Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (PERGERAKAN), Persatuan Perjuangan Indonesia (PPI), ELSAM, LBH Jakarta, JKPP, IHCS, Koalisi Anti Utang (KAU), KpSHK, Formada NTT, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Front Mahasiswa Nasional (FMN), Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI), Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI), Pergerakan Mahasiswa Muslim Indonesia (PMII), Liga Mahasiswa Nasional Demokratik (LMND), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Front Aksi Mahasiswa (FAM Indonesia), Liga PemudaBekasi (LPB), GMPI, Repdem, INDIES, Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI), Punk Jaya, PPMI, SBTNI, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), SBTPI, Gesburi, Serikat Pekerja Kereta Api Jakarta (SPKAJ), SPTBG, dan lainnya.