Aksara Pustaka Palembang Gelar Diskusi: Mengenal Jejak Literasi Kota Palembang

Palembang, Spora –  Dalam rangka memperingati hari Literasi Internasional, Aksara Pustaka Palembang Bersama Sahabat Cagar Budaya menggelar acara diskusi umum yang diadakan di Utopia Collaboration Space pada jumat (8/9). Diskusi kali ini akan membahas mengenai Jejak-jejak Literasi di kota Palembang dan Mengenal huruf aksara Pallawa yang merupakan aksara yang dipakai pada saat zaman kerajaan Sriwijaya terdahulu.

Ahmad Subhan selaku narasumber dan pegiat literasi di kota Palembang banyak menjelaskan mengenai jejak-jejak literasi di Palembang mulai dari era Aksara, Prasarti, dan perkembangan literasi di kota Palembang. Pada masa itu, terbagi menjadi 3 era jejak literasi yaitu jejak pertama, era kerajaan Seriwijaya, jejak kedua era kesultanan dan jejak ketiga era kolonial. Pada era pertama yaitu era kerajaan Sriwijaya, literasi ditemukan di prasasti terdahulu seperti prasasti kedukan bukit yang menulis menggunakan aksara Pallawa namun memakai bahasa melayu kuno. Hal ini, membuktikan bahwa bangsa Sriwijaya berupaya untuk menunjukan identitas lokal mereka.

“Dalam Prarsasti kedukan bukit tertuliskan satu kalimat yaitu Siddhayarta yang berarti perjalanan suci yang berhasi mencapai tujuan.” Ujarnya.

Ia juga menjelaskan mengenai peradaban kerajaan Sriwijaya yang menjadi titik sentral penemuan kertas, jauh sebelum bangsa Arab menemukannya. Salah satu Bikkhu Buddha yaitu Xuanzang (602 M- 664 M) mempelajari Sansekerta di India selama 10 tahun dan menuliskan kitab menggunakan kertas untuk pertama kalinya di Sriwijaya. Lalu, peperangan bangsa Tiongkok melawan bangsa Abbasiyah Arab menyebabkan kekalahan bagi Cina, sehingga munculah ledakan informasi pertama yaitu penemuan kertas.

Era kesultanan merupakan jejak kedua yang dijelaskan oleh Ahmad Subhan. Perpustakaan istana Kuto Besak yang sekarang dijuluki sebagai Benteng Kuto Besak (BKB) ditemukan pada saat Belanda menjarahi Istana tersebut pada tahun 1821. Pada saat itu, ditemukanlah Syair Perang Menteng yang berisikan 260 bait dengan menggunakan aksara arab melayu. Setelah ditemukannya syair itu, barulah Belanda mencari lagi jejak-jejak naskah dan ditemukan 55 naskah peninggalan kesultanan Sultan Mahmud Badaruddin II.

“kesaksian dari warga sekitar yang lama dan hidup pada era itu ialah Mang Win. Mang Win pernah mengatakan bahwa pada saat kecil, ia melihat ada 3 gerobak yang membawa buku-buku dalam upaya pengosongan istana, dan salah satu orang yang terlibat dalam upaya itu merupakan kerabat dari Mang Win”. Jelasnya pada peserta diskusi.

Sultan Mahmud Badaruddin juga merupakan seorang sultan yang menulis naskah dan syair pada zaman itu dikarenakan telah ditemukan 22 naskah miliknya.

Era kolonial adalah jejak terakhir peradaban literasi di kota Palembang. Pada saat itu, minat baca orang Palembang cukup besar bahkan telah didirikannya perpustakaan besar yang bernama KA Ebeling yang ada di Jl. Tengkuruk.

JJ Polong selaku peserta diskusi pada malam hari itu, mempertanyakan mengenai industri sosial ekonomi yang dialami pada era tersebut. Ia mempertanyakan mengapa pada saat itu hingga sekarang ekonomi orang-orang terdahulu yang seharusnya merupakan pelopor dari jejak literasi dan industri pernaskahan malah tidak berkembang dan mengalami kemerosotan ekonomi.

“Kita patut bertanya mengapa kota Palembang ini mengalami pemerosotan sosial ekonomi. Padahal kalau kita tarik ke zaman terdahulu seperti yang diceritakan Bung Subhan tadi, masyarakat lokal seharusnya maju secara sosial dan ekonomi karena menjadi pelopor produksi naskah dan literasi.” Tanyanya kepada narasumber duskusi umum malam itu.

Berkomentar