Memutus Rantai Civil Society Dari Patronasi Statusquo

Lintas dialog peserta Kelas Akhir Pekan (KERAN) yang diinisiasi Spora Institute pada Sabtu (25/6/22) di Kafe Panche Hub Palembang. Membedah opini “Civil Society di Hari Ini” karya Asmaran Dani Divisi Pendidikan Spora Institute.

Palembang-Spora, Kelas Akhir Pekan (KERAN) yang diinisiasi Spora Institute kembali dilaksanakan pasca Idul Fitri 2022 pada Sabtu (25/6/22) di Kafe Panche Hub Palembang. Membedah opini “Civil Society di Hari Ini” karya Asmaran Dani Divisi Pendidikan Spora Institute.

Dalam opininya, Asmaran mengkritisi Civil Society di hari ini yang terjebak zona nyaman. Segudang produk Civil Society masih diintervensi aktivis 1998, itupun aktivis yang hobi keluar-masuk pintu kekuasaan menjadi kaki tangan oligarki. Kalangan mahasiswa, organisasi internal dan eksternal kampus menjadi bias ideologi dicengkram aktivis yang statusquo tersebut. Melalui dasar argumentasi opininya itu, Asmaran meyakini bahwa Gerakan Sosial pasca reformasi masih dibayangi kisah heroik aktivisme 1998. Kelompok mahasiswa di hari ini belum mampu menghadirkan alat politik berbasis ideologi yang konkret.

Terjadi arus argumentasi selama diskusi yang dimulai pukul 15.30 sampai dengan 17.30 WIB. Peserta yang menghadiri KERAN edisi ke-4 dari berbagai Perguruan Tinggi dan berbagai Komunitas independen saling menanggapi, opini Asmaran dianggap terlalu naif dalam mengamati Civil Society di hari ini. Peserta berpendapat bahwa Gerakan Sosial hari ini tidak bisa disimpulkan hanya dari peristiwa reformasi 1998 dan para aktivis yang lahir di tahun penuh gejolak itu. Peserta diskusi mengatakan, kemandulan Gerakan Sosial hari ini harus dimulai dengan analisis mengakar dari basis struktur sosial yang membentuk konstruksi sosial di hari ini.

Peristiwa demokrasi pasca reformasi masih belum menghadirkan generasi yang kritis dalam menjawab masalah sosial, ekonomi, dan politik. Reformasi hanya melahirkan Gerakan Sosial Homogenik (Entitas Seragam, dan Klise). Banyak komunitas baru, organisasi non pemerintah, organisasi massa, dan mahasiswa yang terlibat dalam organisasi internal dan eksternal kampus. Namun dari kesekian produk Civil Society tersebut masih dibelengu senioritas statusquo, sehingga aktivis muda di hari ini hanya menjadi aktor intelektual Homogenik (sesuai perintah senior).

“Gerakan Sosial pasca reformasi tidak memberikan perubahan mendasar. Khususnya di dalam sistem sosial, ekonomi, dan politik. Memutus rantai Civil Society dari patronasi statusquo dimulai kembali dari kelompok diskusi kritis di kalangan mahasiswa, dan komunitas publik. Menuju gerakan massa berbasis alat politik yang konkret harus dimulai dari kerja-kerja kolektif independen. Tidak terikat dengan sistem statusquo maupun aktivis senior yang hari ini menjadi bagian dari pialang politik.” Ucap Yogi (22) moderator diskusi, juga penggiat Studi Sosiologi di kalangan kelompok marjinal.

Sedangkan Eka Nurhayati (19) menerangkan, perlu adanya kajian sosial berbasis kelas. Kemandulan Gerakan Sosial di hari ini bagian dari skema pasar yang didesain oleh kelas elite untuk menjaga akumulasi kapital. Kelas marjinal sibuk bercita-cita menjadi kelas elite, setidaknya puas menjadi kelas menengah di zona nyaman.

“Memahami konstruksi sosial hari ini dimulai dari hal mendasar. Membongkar kembali struktur sosial yang sudah mapan. Kembali menentukan sikap dan prinsip, baik sebagai individu maupun bagian dari kolektif sosial. Khususnya membangun pendidikan kritis di tingkat kelas marjinal, memberikan pemahaman bahwa di hari ini sistem dari kelas elite semakin menghegemoni ruang sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Sudah saatnya kelas marjinal merumuskan formula gerakan sosial progresif, mendobrak sistem demokrasi oligarki yang berkiblat ke pasar dan korporasi.” Ucap Eka, mahasiswa Hubungan Internasional UNSRI.

Berkomentar