SP Palembang memperjuangkan Ruang Kelola Perempuan

Diskusi Solidaritas Perempuan Palembang

Palembang-Spora, Hingga pertengahan Tahun 2016, persoalan konflik agraria di Sumatera Selatan belum mampu diselesaikan. Masifnya perampasan lahan yang dilakukan oleh Negara dan perusahaan yang berujung pada konflik agraria, berdampak pada hilangnya  akses dan kontrol masyarakat terutama perempuan terhadap lahan produktif sebagai sumber kehidupannya.  Akibatnya wilayah kelola  perempuan semakin hilang.  Menurut Ida Ruri Sukmawati, Ketua Solidaritas Perempuan Palembang,  hilangnya ruang kelola perempuan yang berdampak pada semakin terpinggirkannya perempuan dari akses dan kontrol atas sumber kehidupan, yang akhirnya beban perempuan dalam memenuhi kebutuhan keluarga semakin tinggi dan hilanganya kedaulatan atas pangan.

“Selain itu, konflik lahan yang sering muncul antara masyarakat dan perusahaan telah menambah beban ganda bagi perempuan karena ketika terjadi konflik, perempuan harus menjaga rumah, mencari nafkah, melindungi keluarganya dan sering mendapatkan intimidasi dari aparat atau bahkan masyarakat itu sendiri. Seharusnya sudah ada penanganan yang lebih tegas dari pemerintah terkait persoalan-persoalan konflik lahan yang terjadi di wilayah Sumatera Selatan” Ungkap Ida ketika menjadi narasumber pada diskusi tentang Memperkuat Strategi Perempuan Akar Rumput dalam Penyelesaian Konflik lahan dan mendorong Pengakuan Wilayah Kelola Perempuan, di Hotel Grand Duta Palembang 30 Juni 2016.

Dalam kurun waktu 2009-2014 hutan Sumatera Selatan mengalami deforestasi seluas 166.961,67 Ha atau 14,99% dengan laju deforestasi mencapai 33.255,69 Ha/tahun.Luas wilayah fungsi kawasan Sumatera Selatan berjumlah ±8.811.291 Ha (Kepmenhut RI No. 866 Tahun 2014). Kawasan tersebut terdiri dari Kawasan Hutan ±3.495.374 Ha dan Areal Penggunaan Lain (APL) ±5.315.917 Ha.Adapun penyebab dari terjadinya deforestasi tersebut adalah karena adanya alih fungsi hutan menjadi konsesi perusahaan (HTI, Perkebunan, dan Pertambangan), perambahan hutan, dan kebakaran hutan.sampai tahun 2015 Sumatera Selatan masih menghadapi persoalan krusial terkait dengan lahan, diantaranya adalah semakin besarnya alih fungsi lahan Pertanian milik petani menjadi perkebunan skala besar yang dimiliki oleh berbagi perusahaan agribisnis dan sekitar 57 lokasi sengketa lahan yang tersebar di 9 kabupaten  lokasi sengketa lahan yang tersebar di 9 kabupaten. Semakin besarnya alih fungsi lahan pertanian milik petani menjadi perkebunan skala besar yang dimiliki oleh berbagai perusahaan juga penguasaan lahan oleh pemerintah atas dasar investasi  hanya menguntungkan perusahaan dan  bertentangan dengan pasal 33 ayat 3 UUD 1945.Sementara skema lain, pengelolaan hutan oleh masyarakat (laki-laki dan perempuan) adat/lokal yang lebih menjamin keberlanjutan sumber daya hutan dan kesejahteraan masyarakat, masih sulit untuk di akses oleh masyarakat terutama perempuan.

Seperti yang sekarang masih dialami oleh perempuan petani dan perempuan pedesaan yang ada di desa Seribandung kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan, tanah orang tua dan tanah suaminya dirampas oleh Perusahan Skala besar PTPN VII Cinta Manis. Kehadiran PTPN VII Cinta Manis bukan hanya menggambil lahan/tanah secara paksa tetapi juga menyertai konflik yang berkepanjangan antara masyarakat dengan perusahaan, bahkan masyarakat dengan masyarakat.Mereka kehilangan sumber mata pencaharian sehari-hari yang menyebabkan sebagian besar menjadi buruh di perusahaan PTPN VII Cinta Manis. Begitu juga yang dialami oleh perempuan pedesaan dan perempuan petani desa Merbau Kabupaten Ogan Komering Ulu juga perempuan petani dan perempuan pedesaan desa Simpang Bayat kabupaten Musi Banyuasin yang belum mendapatkan akses untuk mendapat wilayah kelola dari pemerintah dan penegakan hukum terhadap perizinan yang melanggar dan aktivitas ilegal di sektor kehutanan dapat ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum.

“Persoalan konflik lahan yang terjadi tidak dapat diselesaikan melalui program legalisasi asset maupun retribusi tanah, tanpa melakukan perombakan struktur penguasaan lahan yang timpang, karena bagi perempuan tanah memiliki arti penting bagi kehidupan dalam keberlangsungan hidup. Oleh sebab itu, Solidaritas Perempuan Palembang bersama perempuan dari Desa Seribandung Kabupaten Ogan Ilir, Perempuan dari Desa Simpang Bayat Kabupaten Musi Banyu Asin dan Perempuan dari Desa Merbau Kabupaten Ogan Komering Ulu akan terus memperjuangkan pengelolaan  Hak Atas Sumber Daya Alam dan Mendorong Pengakuan Wilayah Kelola Perempuan (WKP).” Tegas Ida.

 

Ada 6 komentar

  1. YULI berkata:

    Mantap perjuangin

  2. sri maryati berkata:

    Bagaimana tindakan pemerintah mengenai persoalan konflik agraria di Sumatera Selatan yang belum mampu diselesaikan?

  3. Risdiyan berkata:

    Perlu adanya komunikasi yg intens dengan pemerintah daerah.

  4. Eko Rizkiyanto berkata:

    Sebenarya apa yang menyulut koflik akan tanah tersebut..??

  5. Van Duvil berkata:

    Bgm bisa gabung

Berkomentar